Di Pasir Putih kami bersantai ria. Bercerita segala hal tentang kehidupan keluarga kami masing-masing. Mrs. Shellee merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Timothy, tinggal di Sidney bersama kedua orangtuanya, sementara Shellee bersama suaminya, Steve, dan kedua anaknya, Nicholas dan Aemee, tinggal di Canberra.
Kami menyusuri pantai, berjalan di atas karang, sesekali duduk di bebatuan kering. Persahabatan kami ini terbentuk begitu alami. Meski berbeda agama, budaya, dan melintasi benua, namun hal itu tidak jadi penghalang bagi kami untuk menjalin indahnya  persaudaraan sebagai sesama guru, yang terjalin kerjasama dalam sebuah program.
"Kalian begitu baik. Terimakasih atas semuanya," kata Mrs. Shellee.
"Hanya ini yang bisa kami lakukan, Bu Shellee, mohon maaf jika kurang berkenan," kata rekan saya, Krisma Yuanti berbasa basi.
"Sewaktu kami berada di Aussy pun, Bu Shellee memperlakukan kami dengan sangat baik, kami ingin membalas kebaikan Bu Shellee semampu kami," kata saya sedikit beretorika, he-he.
Ya. Selama kami berada di Canberra, Mrs. Shellee dan keluarganya begitu memperhatikan kami. Mengajak kami berwisata keliling Canberra. Mengunjungi tempat-tempat indah dan luar biasa. Nanti akan saya ceritakan di episode dan gelombang yang berbeda, he-he.
Beberapa jam kami menikmati indahnya Pasir Putih. Tiba waktunya sholat dzuhur, saya dan Krisma sholat di mushola yang ada di cagar alam. Selama berjalan dari pantai ke mushola, terlihat puluhan kera meloncat ke sana kemari mencari makanan. Tapi mereka baik-baik, tidak mengganggu kami. Mungkin menganggap saya sebagai saudara jauh yang datang menengok, he-he.
Di dalam mushola, Mrs. Shellee dengan sabar menunggu kami. Begitu damai dan indahnya toleransi yang dibangun. Selama saya berada di Australia pun, saya tidak dihalangi untuk sholat, malahan Steve, menjaga saya ketika harus tayamum dan sholat di dalam mobil.
Makan seafood di restoran pinggir pantai Timur, adalah kenikmatan yang tiada banding. Semilir angin yang menerpa dari arah pantai, perahu-perahu dan kapal kecil dari kejauhan, melengkapi indahnya pemandangan serta menambah lezatnya ikan kakap merah dan cumi yang kami nikmati. Mrs. Shellee video call suaminya, Steve. Berkali-kali Steve mengucapkan terimakasih kepada kami, karena telah membawa jalan-jalan istrinya.
"Pemandangan yang indah. Kami akan berlibur ke Pangandaran pertengahan 2024," kata Steve.
"Baik, kami tunggu pak Steve," kata saya. Senyuman Steve mengembang. Begitu senang melihat istrinya bahagia berada di Pangandaran.
Setelah perut kami penuh, Krisma dan Mrs. Shellee berkeliling untuk membeli souvenir. Daster dan kaos bertuliskan pantai Pangandaran untuk Nicholas dan Aemee. Saya tidak ikut berbelanja, karena sudah paham, kalau emak-emak sedang shopping, pasti lama. He-he. Saya menikmati kopi di pinggir pantai Timur, sembari memandangi deburan ombak dan lalu lalang orang.