"Beneran ini Kah?," tanyaku penuh kegirangan. "Iya, masa aku bohong," kata Akah sambil tetap tersenyum.
Aku merasa heran, koq ada teman baru sebaik ini. Menjemputku, memberiku uang lagi. Uang 25 rupiah waktu itu (tahun 1988 akhir) cukup untuk membeli sebungkus kerupuk asoy. Ya, jika dikonversi ke nilai uang hari ini, kemungkinan nilainya 2 ribu rupiah. Nilai segitu bagi anak kecil pastinya membuat senang.
Kakakku memberi 50 rupiah tiap hari karena kondisi keuangan saat itu sedang susah. Dia harus menyelesaikan kuliah, sementara gaji kakak iparku di kantor swasta saat itu hanya 60 ribu rupiah. Otomatis, biaya sehari-hari, ongkos angkutan umum kakakku ke kampus, biaya sekolahku, dan lain-lain, harus diatur sedemikian rupa agar kami bisa bertahan hidup dari bulan ke bulan.
Tahu dan tempe adalah lauk langganan yang kami anggap mewah kala itu. Di awal bulan makan paling nasi dengan telur goreng. Di akhir bulan, seringkali Teteh (panggilan untuk kakakku), masak nasi plus parutan kelapa dicampur minyak jelantah.
Tapi entah kenapa, aku makan dengan lahap dan rasanya nikmat sekali. Mungkin dampak dari keberkahan kakakku yang sedang mencari ilmu di Fakultas Tarbiyah. Daging ayam sesekali saja kalau hari raya. He..he.
Tak terasa, hari demi hari, bulan ke bulan, persahabatanku dengan Akah semakin erat. Aku sering main ke rumahnya, begitu pula sebaliknya, dia sering main ke kontrakan kami. Di sekolah, kami bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan.
Jika ada yang membullyku, Akah membelaku. Begitu pula jika ada yang mengganggu Akah, aku berada paling depan untuk membelanya. Persahabatan yang sangat indah.
Rumah Akah biasa saja. Lebih besar sedikit dibanding kontrakan kami yang berukuran 3 x 6 meter. Aku tidak tahu, apakah itu rumah asli orangtuanya, atau mereka hanya sebatas menyewa. Hingga saat ini aku sering takjub, kenapa orang biasa seperti Akah memiliki kebaikan hati sebening salju. Dia selalu berbagi makanan, uang jajan, atau mainan yang dia punya.
Tidak pernah sekalipun kami bertengkar apalagi berkelahi. Akah orang yang sangat sabar dan sedikit pendiam. Kehadiran Akah benar-benar telah mengobati kesepianku akibat perceraian orangtuaku. Kami bercanda, tertawa, saling bercerita tentang keluarga, atau tentang teman perempuan sekelas yang paling cantik bernama Indari. Gadis putih bersih, berambut panjang dikepang dua.Â
Oh iya, sewaktu bersekolah di SMA di Cikajang Garut, aku pernah melihat Indari ada di kolom pelajar di Koran Pikiran Rakyat. Saat itu aku segera menyuratinya, dan dia pun membalas suratku. Namun karena saat itu belum ada HP, kami pun lost contact. Â