Sejak dulu aku ingin bercerita tentang kisah ini. Cerita tentang persahabatan di masa silam, yang takkan terlupakan sepanjang hidup.Â
Tepatnya 35Â tahun lalu, saat usiaku 8,5Â tahun. Kala itu, aku harus pindah sekolah dari SDN 4 Cikajang Kabupaten Garut ke SDN 2 Ciporeat Ujungberung Bandung. Aku baru naik kelas 3 waktu itu.
Cerita ini bermula saat hancurnya bahtera rumah tangga yang dinakhodai bapakku akibat diterjang badai. Seluruh penumpang mesti tercerai berai. Termasuk diriku yang kala itu masih belum faham akan apa yang sedang terjadi.
Kakak perempuan keduaku yang waktu itu baru saja menikah, namun masih berkuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (sekarang UIN), memboyongku dari Cikajang ke rumah kontrakannya di daerah Ciporeat Ujungberung Bandung.
SDN 2 Ciporeat Bandung terletak di pinggir jalan raya Ujungberung. Meski di pinggir jalan, namun sekolah terbilang asri karena banyak pepohonan dan bunga-bunga di sekillingnya. Hari pertama masuk sekolah, aku dihampiri salah seorang anak berkulit sawo matang. Tinggi namun agak kurus, bentuk wajahnya lonjong dan berambut lurus.
"Kenalkan namaku Suhada, tapi teman-teman di kampung memanggilku Akah," katanya ramah.
"Di mana rumah kamu, Akah?" tanyaku. Akah menjelaskan detail alamat rumahnya, yang ternyata tidak jauh dari kontrakan kakakku.
Setelah saling bertukar alamat, kami pun memutuskan untuk menjadi teman sebangku. Esoknya, saat berangkat ke sekolah, Akah menjemputku.
"Ayo murid baru, kita berangkat bareng," katanya sembari tersenyum. Aku heran, koq mau-maunya dia menjemputku, padahal dia harus mengambil jalan lurus dulu ke kontrakanku. Artinya, jarak rumahnya ke sekolah lebih dekat dibanding dia harus menjemputku terlebih dahulu.
"Kamu bawa bekal berapa?" tanya Akah sembari berjalan di sebelah kananku. "50 Rupiah, " jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Akah merogoh saku celananya. "Aku bawa bekal 125 rupiah. Nih, yang 25 rupiahnya untuk kamu," katanya tanpa ragu.