SAYA membaca dalam buku The Venture of Islam karya Marshal GS Hodgson; yang diterjemahkan Dr.Mulyadhi Kartanegara; bahwa Islam dalam konteks sejarah tidak pernah tercatat menghilangkan budaya lokal. Islam hadir memberi warna baru dan mengisinya dengan nilai atau ajaran yang lebih universal dan bernuansa spiritualitas. Nabi Muhammad saw di Arab mengganti tradisi haji yang berbau jahiliah dengan ajaran Islam. Bahkan, mengubah perilaku buruk yang membudaya di Makkah dan Madinah menjadi sebaliknya.
Begitu juga dengan mereka yang biasanya berperang antarsuku disatukan dalam satu komunitas: umat Islam. Mereka yang menganggap anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga diberi pencerahan bahwa anak (baik laki-laki atau perempuan) merupakan anugerah dan amanah dari Allah serta menjadi kekayaan yang berharga bagi keluarga. Pernikahan ubah sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga unsur penindasan dan menganggap istri sekadar pemuas seks dihapuskan. Pernikahan diatur secara syariah sehingga bernilai sakral dan kaum lelaki-lelaki tidak lagi seenaknya dalam memperlakukan istri dan anak-anaknya. Kebiasaan menindas terhadap kaum dhuafa dihilangkan dengan mengangkat kaum dhuafa setara atau sederajat dengan masyarakat lainnya.
Begitu juga ketika Islam masuk ke Tatar Sunda. Budaya Sunda dan Islam bisa berdampingan dan saling mengkuatkan. Misalnya dalam acara adat pernikahan dan seni rudat dalam sunatan/khitanan, khazanah tersebut diisi ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, budaya yang diisi ajaran-ajaran Islam tersebut menjadi bentukan baru antara Sunda (tarian) dan Islam (babacaan dan kawihnya) dan seni rudat mereplace acara Sunda sebelumnya yang berbau Hindu. Hal itu terjadi karena suatu ajaran/nilai yang datang ke suatu bangsa/kawasan pasti akan mengalami pengkayaan akibat pengaruh budaya yang dibawa pada kawasan tersebut. Pengkayaan budaya inilah yang menjadi khas Islam-Sunda yang sangat berbeda dengan Islam Jawa, Islam Arab, Islam Eropa, dan lainnya.
Fakta hitoris itulah yang kemudian oleh Marshall GS.Hodgson disebut "Islamicate", budaya yang bercorak Islam. Hodgson dalam studi peradaban Islam, menganjurkan dalam melihat realitas Islam di dunia harus bisa membedakan antara Islam sebagai doktrin (Islamic) danfenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural yang disebut "Islamicate". Kemudian juga harus melihat konteks sosial dan kesejarahan, khususnya saat Islam menjadi sebuah fenomena "dunia Islam" yang politis dalam kenegaraan yang disebut dengan "Islamdom".
Apabila membaca kawasan Islam atau peradaban Islam dengan kacamata Hodgson maka akan jelas terlihat bagaimana beragamnya Islam ketika hadir dalam kawasan lainnya. Meskipun jauh dari tempat lahirnya Islam, komunitas Islam di kawasan-kawasan tertentu tidak jauh beda dalam pelaksanaan keislamannya dan tidak ada istilah yang paling asli dan tidak asli. Karena yang menilai keislaman jelas bukan manusia.
AHMAD SAHIDIN, pekerja buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H