Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... lainnya -

www.albanduni.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fivety-fivety Membawa Berkah

22 Desember 2009   03:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49 2245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat nyantri di Pondok Pesantren Ar-Riyadh, Palembang, saya memiliki guru yang namanya sama dengan nama saya: Ahmad Al-Habsyi. Lengkapnya Habib Ahmad Al-Habsyi. Kami atau para santri, biasanya memanggil beliau dengan Abuya. Beliau sosok yang sangat dekat dengan kami. Dari sekian ratus santri yang ada, ada duapuluh santri yang dianggap oleh beliau sebagai santri andalan atau unggulan, termasuk saya.

Beliau dikenal alim, wara, zuhud, dan sangat memperhatikan santri-santrinya, termasuk dalam perkembangan belajar dan ibadahnya. Suatu ketika, sebelum wafat, beliau diuji dengan sebuah penyakit yang membuat kami merasa khawatir atas hal yang dialaminya itu. Beliau mengidap sakit lupa ingatan. Semua yang berkaitan dengan dirinya, pesantren, santri, dan termasuk namanya sendiri pun lupa.

Memang sudah menjadi bagian pengkhidmatan, setiap santri mendapatkan tugas untuk memijiti badannya secara bergiliran. Suatu waktu ketika memijiti beliau, saya bertanya, “Guru, apa sih rahasianya agar bisa sukses, berilmu dan berkah seperti guru?” Beliau menjawab, “Jika kamu ingin sukses dan hidup berkah, biasakanlah membaca Surat Al-Waqi`ah sebanyak 14 kali dalam sekali duduk dan memberikan rezeki yang didapat kepada ibumu”.

Yang disampaikan beliau ternyata terbukti dialami oleh saya. Dulu ketika masih tinggal di Palembang, saat bulan Ramadhan saya diundang untuk memberikan ceramah di sebuah masjid kampung. Selesai ceramah, saya diberi amplop oleh pengurus masjid itu. Amplop itu saya bawa ke rumah dan langsung bicara pada Ummi—panggilan saya pada ibu kandung, “Ummi, saya teringat pesan dari guru bahwa setiap kali mendapatkan rezeki harus berbagi dengan Ummi. Tadi Ahmad sudah mengisi ceramah dan mendapat amplop. Jadi, Ahmad mau berbagi dengan Ummi”.

“Ya,” kata Ummi.

“Sekarang kita bikin perjanjian, setiap Ahmad dapat rezeki akan dibagi dua dengan Ummi. Fivety-fivety ya Ummi,” ujar saya. Ummi pun mengiyakannya. Kemudian amplop itu dibuka dan ternyata terdapat uang sebesar Rp 100 ribu. Kemudian uang itu dibagi dua: Rp 50 ribu untuk Ummi dan Rp50 ribu untuk saya.

Menjelang waktu sore, saya mendapat undangan untuk ceramah di sebuah masjid. Saya pun lantas berceramah dan pulangnya mendapatkan amplop. Setelah dibuka dihadapan Ummi, ternyata isinya Rp 500 ribu. Sebagaimana yang telah disepakati bersama, Ummi dan saya masing-masing dapat Rp 250 ribu. Beberapa menit sesudah itu saya ditelepon sebuah organisasi dokter yang meminta saya menjadi imam shalat tarawih dan mengisi tausiyah. Pada esok harinya saya menunaikan apa yang diminta si pengundang. Dikarenakan hujan lebat dan jamaah tertarik dengan materi yang saya bahas, mereka meminta untuk terus melanjutkan hingga hujan reda. Selain hujan, aliran listrik pun mati. Meski dengan hanya cahaya lilin, saya tetap melanjutkan tausiyah dan jamaah pun terus menyimak. Setelah hujan reda, saya langsung pulang dan panitia member saya sebuah amplop. Saya cepat-cepat pulang ke rumah untuk bertemu Ummi dan membagi dua amplop yang saya terima itu.

Setibanya di rumah, saya lihat Ummi sudah tidur. Dalam hati saya begumam, ‘kalau membangunkan Ummi khawatir menggangu istirahat. Tapi, kalau tidak dibangunkan, saya tidak menunaikan janji. Ah, saya bangunkan saja’. Setelah dibangunkan, saya bilang pada Ummi bahwa malam ini dapat amplop. Ummi pun terlihat gembira dengan senyumnya yang khas ketika saya buka amplop. Subhanallah, amplop itu kosong. Tak ada sepeser pun uang. Saya kecewa. Tapi Ummi hanya tersenyum sambil berkata, “Ahmad, sudah tak apa. Jangan kecewa. Sudah kita bagi dua saja ini amplopnya”. Amplop kosong itu disobek bagi dua. Saya dan Ummi dapat potongan amplop. Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya dalam hati menggerutu pada panitia yang mengundang saya.

Esoknya, setelah subuh saya dapat telepon dari panitia yang mengundang saya bahwa ia mengaku salah ambil karena gelap. Ia pun datang pada saya dan meminta maaf. Ia menyerahkan amplop yang isinya Rp.1.250.000,-. Ia mengaku tidak menyentuhnya sepeser pun. Untuk membuktikan kebenaannya, ia berani meminta saya untuk mengecek kebenaran isi amplop pada panitia lainnya. Ia kemudian menelepon ketua panitia dan membenarkan jumlah nomimal amplop tersebut. Ia bilang pada saya bahwa dirinya semalam tidak bisa tidur dan terus dibayangi rasa salah. Sebagai penebus atas kesalahan dan kelalaiannya itu, ia menambahkan satu kali lipat isi amplop itu pada saya. Jadi, yang saya terima waktu sebesar Rp.2.500.000,-. Saya langsung pulang dan membagi dua dengan Ummi. “Fivety-fivety,” kata Ummi setelah saya beritahukan perihal kekeliruan panitia.

Subhanallah, Allah benar-benar Mahakaya dan Mahapengasih. Memberi satu dibalas sepuluh. Ini fakta nyata yang saya alami. Bahkan, dalam Al-Quran, balasan yang diberikan Allah bagi mereka yang berderma tidak hanya sepuluh, tapi hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Taala berfirman dalam Surat Al-An`am [6] ayat 160, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya”; dan dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 261, “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”.

Sungguh luar biasa kemurahan Allah yang diberikan pada makhluk-Nya yang mau berbagi dan peduli pada sesamanya, terutama kaum dh`uafa dan kerabat yang kemampuan finansialnya terbatas. Memang yang utama dalam berbagi rezeki adalah dengan orang-orang yang tedekat dengan kita. Yakni keluarga terdekat dalam satu atap (rumah) dan saudara-saudara yang masih ada garis kekeluargaan dengan kita. Jika dalam keluarga kita sudah tidak ada lagi orang yang perlu disantuni dengan rezeki yang kita miliki, barulah melangkah ke saudara se-iman atau Muslim lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun