Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... lainnya -

www.albanduni.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengganti Hewan Kurban dengan Uang

26 November 2009   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan perintah menyembelih binatang ternak, dan bukan berkurban dengan kurma atau bahan makanan lainnya, di situ jelas terdapat hikmah tertentu. Hikmah tersebut, antara lain, karena di dalam penyembelihan binatang kurban tersebut terkait persoalan "nyawa" atau "jiwa" (nafs, jamaknya anfus). "Nyawa" atau "jiwa" ini mengingatkan kita pada kewajiban kita untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan "jiwa" yang berulang-ulang disebutkan di dalam Alquran. Hikmah lainnya adalah simbol penyembelihan nafsu-nafsu hewani: angkara murka, zalim, rakus, tamak, tidak kenal aturan, kejam, dll. Dengan demikian, berkurban dengan menyembelih binatang ternak, berarti latihan berkurban dengan jiwa, atau simbol dari penyembelihan nafsu-nafsu hewani. Akan tetapi, ini kan cuma hikmah, dan menyebut hal itu sebagai hikmah, hanyalah kira-kira. Sebab, yang tahu tentang hikmah yang sebenarnya hanyalah Allah SWT.

Kurban yang berasal dari bahasa Arab qurban itu sendiri memiliki arti lafziah "pendekatan", yakni pendekatan kepada Allah. Usaha mendekatkan diri tersebut disebut taqarrub, dan orang-orang yang berhasil menempati kedudukan yang dekat dengan Allah disebut nuqarrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada Allah). Mendekatkan diri kepada Allah memang tidak dengan benda atau materi, melainkan dengan amal yang diridai-Nya. Jika amal tersebut membutuhkan sesuatu sebagai sarana, misalnya kurban dengan menyembelih hewan maka hewan tersebut hanya merupakan alat, bukan substansi dari pengurbanan itu sendiri.

Hikmah bukan tujuan hukum, dan seandainya memang hikmah tersebut yang ingin dituju maka kurban memang tidak akan mencapai hikmahnya tanpa ada penyembelihan. Akan tetapi, bukankah Allah berfirman di dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 38, "Tidak akan sampai kepada Allah dagingnya, dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu sekalian." Ayat ini secara sharih (jelas) menyatakan bahwa bukan darah yang ditumpahkan, dan bukan pula daging yang dibagikan, yang menjadi tujuan dari kurban itu, melainkan "pengurbanan" itu sendiri. Maknanya, tidak ada artinya menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya, jika "semangat" dari penyembelihan tersebut tidak dapat dicapai. Singkat kata, menurut ayat di atas, tak pentinglah darah dan dagingnya. Yang penting berkurbannya.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa salah satu hikmah menyembelih hewan kurban adalah "latihan" menghadapi darah. Akan tetapi, harus cepat-cepat diingatkan bahwa menyembelih sendiri hewan kurban tidak wajib hukumnya sehingga orang yang berkurban boleh-boleh saja mewakilkan penyembelihan hewan kurbannya kepada orang lain, dan itu banyak terjadi. Di Arab Saudi, baik binatang kurban maupun hadyu, diserahkan oleh orang yang mengeluarkannya kepada lembaga khusus yang dibentuk untuk itu sehingga mereka cukup hanya membayarkan uangnya. Hewan kurban dan hadyu-nya tidak mereka sembelih sendiri, bahkan tidak pernah mereka lihat. Ini berarti bahwa dalam pengurbanan hewan tersebut, orang yang mengeluarkan hewan kurban tidak menjalani "latihan" penyembelihan itu.

Oleh karena itu, baik Ibn Abbas maupun Bilal, menurut riwayat di atas, mengorbankan daging seharga dua dirham dan seekor ayam. Seakan-akan, bagi Ibn Abbas dan Bilal, tak pentinglah bentuk materialnya. Yang penting semangat berkurbannya. Untuk yang mempunyai cukup uang, berkurbanlah secara sempurna, sedangkan yang tidak mempunyai uang cukup, berkurbanlah dengan mencontoh Ibn Abbas dan Bilal. Jangan tidak berkurban. Di situ terdapat pula peluang untuk mengganti hewan kurban dengan uang atau beras. Akan tetapi, itu baru peluang. Jika ingin dimanfaatkan, silakan diskusi kawan-kawan saya dilanjutkan, dan jika tidak, ya kita hentikan sampai di sini. Semuanya terpulang pada ijtihad para ulama yang lebih mumpuni, sedangkan tulisan ini hanyalah pandangan yang didasarkan pada ilmu yang sangat cekak. Wallahualam bissawab.*** (Prof. Dr. H. Afif Muhammad, M.A., Pengajar dan Direktur Program Pascasarjana UIN Bandung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun