ALHAMDULILLAH, Ahad (22/11) pagi kemarin saya bersama istri menghadiri pengajian mingguan di Masjid Persis (Persatuan Islam), Jalan Perintis Kemerdekaan Bandung.
Jamaah yang hadir sampai membludak sehingga salah satu jalan utama digunakan jamaah dan para pedagang. Jika melihat jamaah pengajian yang banyak, teringat pada jamaah pengajian di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, sebelum pengasuhnya berpoligami.
Penceramah pada pengajian kemarin adalah Prof.Dr.Maman Abdurahman, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) yang baru (menggantikan KH.Shiddiq Amien yang telah wafat). Salah satu pembahasan yang disampaikannya adalah Kiamat. Hal ini memang bisa dimaklumi karena tema yang berkaitan dengan Kiamat, Imam Mahdi, Dajjal, dan tanda-tandanya sedang menjadi pembicaraan di tengah masyarakat Indonesia.
Selesai pengajian, para jamaah pun bubar. Padahal, setelah acara itu ada diskusi buku "Api Sejarah" yang selenggarakan Salamadani Publishing dan Pemuda Persis. Memang wajar jika para jamaah tidak tetap di tempat karena informasi tentang diskusi buku hanya terpampang di pos security berukuran kertas A4.
Meskipun tidak ramai, terlihat ada beberapa anggota Pemuda Persis sudah berdiam diri. Di sebelah pojok kanan ruang dalam Masjid terlihat seorang laki-laki muda berjenggot yang memegang buku "Api Sejarah". Sekitar setengah jam kemudian, kalau tidak salah jam 09.00 an pembicara utama: Prof Ahmad Mansur Suryanegara datang bersama dua orang yang berasal dari Salamadani.
Saya langsung menyambut Pak Mansur dan mengantarnya ke ruang dalam masjid; yang pada saat itu pula, lelaki muda yang berjenggot itu mengampiri Pak Mansur. Teman saya yang dari sari Salamadani menyampaikan bahwa yang berjenggot tersebut adalah Tiar Anwar Bahtiar, pembicara pembanding yang akan mengulas buku "Api Sejarah".
Setelah mengotak-atik slide penampilan "Api Sejarah", saya langsung memandu acara diskusi. Kami duduk lesehan di atas karpet. Saya membuka acara dengan menyampaikan tentang buku "Api Sejarah" dan membacakan biodata kedua pembicara. Yang menjadi pembicara pertama adalah Tiar Anwar Bahtiar, seorang penulis dan ketua (organisasi) PP Pemuda Persatuan Islam. Tiar menamatkan sekolah di Pesantren Persatuan Islam 19 Bentar Garut, menyelesaikan S1 di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung dan S2 di Departemen Sejarah Universitas Indonesia (UI) Depok.
Pada awal pembahasan, Tiar memberikan apresiasi yang positif terhadap buku "Api Sejarah". Kemudian Tiar juga bercerita tentang buku "Menemukan Sejarah" karya Pak Mansur. Dihadapan forum yang rata-rata anggota pemuda Persis, Tiar mengungkapkan tentang ketertarikannya saat masuk jurusan sejarah di UNPAD yang diawali karena membaca buku "Menemukan Sejarah".
Tiar mengaku menjadi tertarik untuk masuk jurusan sejarah karena ingin mengetahui sejarah Islam Indonesia yang sesungguhnya dan hendak meluruskannya jika memang tidak lurus.
"Buku ‘Menemukan Sejarah' Pak Mansur telah dilengkapi dengan hadirnya buku ‘Api Sejarah'. Sebuah karya historiografi Islam Indonesia yang bisa dibilang utuh," komentar Tiar sambil tangan kirinya mengangkat buku "Api Sejarah".
"Meskipun karya sejarah itu bersifat subjektif, tetapi buku Pak Mansur ini memiliki nilai tersendiri dibandingkan dengan M.C. Riclefs yang menulis sejarah berdasarkan kepentingan tertentu. Buku ini secara utuh mampu menggambarkan bagaimana para aktor sejarah Islam di negeri ini berjuang demi tegaknya Islam sebagai bagian dari jihad dan pengabdian mereka pada Allah Swt," puji Tiar.
Kang Tiar juga memberikan koreksi tentang A. Hasan, pelopor Persis di Bandung, yang ditulis dalam buku Pak Mansur pernah menjadi Menteri Agama untuk Negara Bagian Pasundan.
"A. Hasan memang disipkan jadi menteri agama, tetapi bukan negara Pasundan, melainkan Negara Islam Pasundan yang akan didirikan oleh Kartosuwiryo setelah beliau mendirikan DI/TII. Namun, Negara Islam Pasundan ini tidak pernah berdiri," koreksinya.
Selain mengulas peran Persis dalam sejarah Indonesia dengan merujuk pada buku "Api Sejarah", Tiar juga menyoroti pengajaran dan kurikulum sejarah yang diajarkan UIN/IAIN.
"Kalau UNPAD, UI, UGM, kan sudah jelas sekuler. Aneh, IAIN/UIN itu Islam, tetapi paradigma dan kurikulum pengajaran sejarahnya berdasarkan sejarah versi Barat. Historiografinya tidak dari sejarahwan Muslim yang digunakannya. Wajar kalau kemudian UIN disebut sebagai sarang sekulerlisme dan liberalisme," ungkapnya.
Untuk menunjukkan pengaruh liberalisme Barat masuk pada khazanah intelektual Islam, Tiar menyebutkan nama-nama seperti Sahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Arkoun, dan lainnya yang dianggapnya telah menjadi corong Barat di Dunia Islam.
Tiar juga menyesalkan tidak adanya sikap kritis para ulama dan sarjana Islam terhadap pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu keislaman. Ia menyebut hermeneutika (sebagai metode tafsir yang digelorakan Barat) disantap mentah-mentah para sarjana Islam tanpa melakukan kritik.
Sebagai informasi, Pak Mansur dalam diskusi buku kali ini lebih banyak mengulas tentang arsitektur Masjid Persis yang berbentuk salib, hubungannya dengan tokoh-tokoh Persis, dan memuji-muji pembicara pertama (Kang Tiar), dan memprovokasi audiens agar membeli bukunya.
(Ahmad Sahidin, pekerja buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H