Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Ngageuing" Kembali Eksistensi Humor (Urang) Sunda

10 November 2010   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humor tergolong peradaban purba manusia. Sense of humour dibutuhkan untuk mengungkap keapesan/kesialan dan kepupusan rasa peka dari inderanya (dissociation of sensibility) (Andre Hardjana, 1992). Untuk itu, ada sebuah kirata bahwa suku Sunda tidak jauh dari singkatan dari “Suka Bercanda”. Dalam khazanah folklor masyarakat Sunda, sejak zaman dahulu telah dimiliki beragam ciri khas masyarakat seperti kisah-kisah humor, tatarucingan (teka-teki), sisindiran, dan sempal guyon lainnya. Keberadaan humor dalam jiwa urang Sunda telah membudaya. Budaya humor dalam hubungan pergaulan sosial masyarakat Sunda menjadi media penting untuk lebih mengakrabkan diri. Apalagi urang Sunda dikenal dengan someah hade ka semah dan paheuyeuk heuyeuk leungeun antarbaraya.

Fenomena humor dalam masyarakat Sunda telah melahirkan sejumlah tokoh, media massa, sampai acara-acara dalam media audio/visual. Kita ingat bagaimana kisah sempal guyon si Kundang di sebuah radio swasta telah melegenda hingga menjadi kameumeut pendengarnya. Acara ini terus bertahan sampai sang pemilik suara si Kundang meninggalkan alam fana ini. Begitu juga dengan gogonjakan Aang K. Kusumahdinata alias Kang Ibing, Aom Kusman, Suryana Fatah, dkk. dengan group De Kabayan; yang dahulu hanya bisa didengarkan lewat kaset, sekarang masih laris didengarkan dalam media internet. Dalam seni wayang golek pun, Asep Sunandar Sunarya dengan padepokan Giri Harja III-nya tidak hanya berkutat dalam wayang versi pakeman. Kang Asep terkadang mengeluarkan kisah wayang versi banyolan. Dalam hal ini, tokoh wayang humor si Cepot berkolaborasi dengan seniman lawak lain dalam mengocok perut penikmatnya. Maka, sosok Nyi Ijem, Kang Ibing, Neng Jenong, Anton Abox, Ohang, dkk. menjadi sumber nyakakak para penikmat wayang. Bahkan, trio seniman lawak Abah Us Us,Yan Asmi, dan Kusye masih menunjukkan eksistensinya; hingga kebersamaan mereka dalam panggung lawak menghilang setelah kedua punggawanya tilar dunya.

Eksistensi Humor Sunda Dewasa Ini
Beralih ke zaman dimana media informasi begitu menggurita, eksistensi humor Sunda terus tumbuh dan berkembang. Lihatlah, dalam ranah jejaring sosial, blog, ataupun website, gogonjakan humor Sunda tetap menjadi idola bagi para penikmatnya. Banyak group-group heureuy Sunda di Facebook berkembang dan mempersatukan para penikmatnya. Tidak jarang mereka mengadakan acara riung mungpulung alias kopi darat walau hanya sekadar ngadu bako, silih gogonjakan, ngacapruk, atau silih kekekak. Namun, ada atmosfer tersendiri  dimanapun dan kapanpun, humor bagi orang Sunda sudah menjadi sumber keterikatan antarbaraya.

Media cetak Sunda pun masih eksis memuat kolom khusus humor-humor Sunda, seperti kolom “Barakatak” dan “Hahahaha” di Majalah Mangle. Malah sekarang, majalah Cakakak yang dahulu sekitar tahun ‘87-’88-an tenggelam penerbitannya karena terbentur SIUPP, kini bangkit dan bereinkarnasi kembali dengan wajah baru. Rengrengan ais pangampih (dewan redaksi) seperti Kang Taufik Faturohman, Kang Ibing, Dedy “Miing” Gumelar Bagito, Acil Bimbo, Tatang Sumarsono, Asep Sunandar Sunarya kembali duduk dalam satu meja menyumbangkan beragam tulisan yang memancing seserengehan dan gelak tawa pembacanya. Bahkan, menurut gegedug banyol sabulangbentor, Taufik Faturohman, kemunculan majalah Cakakak ini lahir berkat inisiatif para penikmat humor Sunda di Facebook.

Hal lain yang patut diperhatikan, kebangkitan humor Sunda mulai merambah dunia hiburan (televisi). Urang Sunda telah menancapkan ikon baru yang diidolakan di Nusantara ini, seperti Sule “Prikitiw”, Ki Daus, Ohang, Rina, dkk. Malah kini muncul juga wayang versi banyolan “Pojok si Cepot” yang dahulu manggung di tv lokal, sekarang di tv swasta nasional. Hal ini menunjukkan bahwa humor (urang) Sunda memiliki aset yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan demikian, regenerasi seniman humor rupanya tidak mengkhawatirkan. Dari waktu ke waktu, para seniman/pegiat humor Sunda ini terus bermunculan. Ke depannya, bagaimana hal ini bisia dikokolakeun dengan baik, baik dari segi tema, suguhan, karakter, dan juga gaya yang ditampilkan.

Humor dan Kepribadian Ki Sunda
Dalam sebuah situs jejaring sosial, seorang teman yang dikenal pembanyol pernah berkelakar: “Dipikir-pikir, sabenerna mah justru jadi rahayat mah amanat, mun jadi pejabat karek disebut ni’mat” (Dipikir-pikir, sebenarnya justru jadi rakyat itu baru disebut amanat. Kalau jadi pejabat baru disebut nikmat!). Jika merunut pada ungkapan William Davis (seorang penulis ternama) bahwa: “Jenis humor yang saya sukai adalah yang membuat saya tertawa selama lima detik, lalu membuat saya berpikir selama sepuluh menit.”

Kita pun bisa berpijak pada pendapat sang Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, yang memilah humor menjadi tiga jenis yaitu: comic, humor, dan wit. Sebuah comic tidak memerlukan logika dan hanya mengejar kelucuan semata, lalu humor adalah humor yang ditujukan untuk menyindir dan menertawakan diri sendiri. Sementara wit adalah humor yang memerlukan pemikiran untuk memahaminya. Nah, masyarakat kita tidak sedikit yang masih berkecenderungan bahwa humor identik dengan slapstick, pelecehan tubuh, hingga terkesan vulgar. Kita harus banyak belajar tentang filosofi humor yang pada intinya menertawakan kelemahan kita sebagai manusia, bukan melemahkan manusia lain. Khusus untuk urusan humor kategori vulgar, dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah cawokah, bukan jorang (vulgar/porno). Jadi salah besar, jika menyebut humor Sunda identik dengan jorang. Jorang adalah bahasa terkasar, tidak santun, dan tidak pantas. Sedangkan cawokah adalah bentuk lain penafsiran bahasa rarangan (organ-organ terlarang manusia) dengan bahasa yang penuh ragam makna dan terselubung (tidak secara langsung). Ini biasanya hanya dimengerti oleh segmen orang dewasa. Karena bahasa humor cawokah ini bisa multitafsir, anak kecil pun biasanya tidak akan faham.

Prof. Dr. James Danandjaya, ahli folklor dari FISIP Universitas Indonesia, mengatakan bahwa guna humor adalah sarana rekreasi, penyaluran perasaan tercekal bagi pencerita dan pendengarnya, membuat kita tertawa sehingga kesejahteraan mental terjaga. Ketertawaan ini dalam segi sastra bukan hanya berupa hiburan, tetapi mengandung manfaat. Dengan demikian, konsep utile dan dulce dalam dunia humor bisa bersinergi menjadi bentuk baru yang membuat peradaban masyarakat lebih cerdas.

Arwah Setiawan menegaskan bahwa humor itu suatu keseriusan. Artinya, gagasan bukan sekadadr guyonan atau kelucuan verbalistik. Humor itu bukan juga pemaksaan plesetan-plesetan. Humor bukanlah melulu agar mulut tertawa selepas-lepasnya. Tertawa bukan penjelmaan ekspresi membuka mulut lebar-lebar kemudian nyakakak terbahak-bahak, melainkan juga arena kegetiran untuk menumpahkan fantasi senyum. Dimensi ini menguatkan aspek humor mewujudkan penumpahan emphasis keseriusan untuk disatirkan. Lahirnya ranah emphasis ini bisa dilatarbelakangi dengan adanya friksi sosio-kultural dan sosio-politis yang menggumpal serta dicairkan ke dalam warna lain, yaitu humor. Humor bisa menjadi sindiran halus terhadap keadaan negara dan bangsa yang terus memunculkan masalah bak labirin. Humor pun bisa menjadi bagian dalam upaya mewujudkan proses penyadaran akan kondisi sekitar. Jadi, humor yang baik bukanlah mengarahkan kemungkinan seseorang dilecehkan seperti yang kini tengah menggejala dalam tayangan-tayangan lawak di layar kaca.

Humor adalah media pangeling akan keangkuhan manusia, kekurangpekaan manusia terhadap penglihatan, pendengaran, hingga kebebalan hati. Ketika semua asyik dengan keterbelengguan tersebut, maka humor bisa menjadi katarsis terhadap kedunguan kita sebagai manusia. Dengan demikian, jika kita menempatkan humor dalam posisi yang terhormat, akan terjadi bahwa humor juga menjadi bagian dari industri yang sehat, menjadi terapi psikologis bagi setiap individu, dan menjadi profesi bagi yang mau menekuninya.

Masyarakat yang merasa kesal, geram, dan gelisah melihat bobroknya kondisi pemerintahan, bisa menjadikan humor sebagai kanal penyaluran perasaannya. Melalui humor itu pula, masyarakat mencoba menuangkan kritik sosial politiknya, yang selama ini tidak tersalurkan melalui media-media komunikasi publik yang tersedia. Saat melontarkan humor, tanpa sadar, masyarakat turut membangun kesadaran diri untuk siap mengkritik dan tentunya siap pula menerima kritikan. Humor itu dapat pula dijadikan sebagai saluran mengkritik secara halus plus santun. Dengan demikian pihak yang dikritik tidak tersinggung atau marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun