Pendidikan Tinggi adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Belum menjadi bagian dari wajib belajar di Indonesia. Saat ini wajib belajar 12 tahun, dan rencana menjadi 13 tahun. Ditambahkan setahun di Pendidikan Anak Usia Dini. Meskipun demikian, jumlah lulusan pendidikan tinggi di suatu negara, menjadi ukuran pada Indeks Pembangunan Manusia secara global, seperti disampaikan oleh PBB melalui UNDP. Indeks Pembangunan Manusia diukur melalui umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.
Pada masa Presiden Prabowo, Kementrian yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan dibagi menjadi tiga bagian. Terpilih sebagai Menteri adalah mantan Dirjen Dikti, dengan dibantu oleh Wakil Menteri dari mantan Rektor UMM Malang dan Profesor yang merupakan ilmuwan diaspora Indonesia, lulusan perguruan tinggi Amerika Serikat, dan menjadi guru besar di Republik Rakyat China. Sebagai ilmuwan data sains, Profesor Stella diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran inovatif dengan impelemntasinya untuk akselerasi raksasa perguruan tinggi Indonesia yang jumlahnya empat ribuan ini. Sedangkan Prof. Fauzan dari Universitas Muhammadiyah Malang, mempunyai pengalaman bagaimana mengembangkan perguruan tinggi swasta dan dapat mendorong percepatan kemajuan sebagai insider yang berkiprah cukup lama di dunia pendidikan tinggi.
Sebagai menteri baru, sorotan terhadapnya datang dari berbagai pihak. Media nasional mewawancarainya. Pada wawancara di media televisi nasional, berikut adalah ikhtisar wawancara Menteri dengan Pembawa Acara di sebuah televisi swasta, tiga hari yang lalu. Disarikan seorang teman dan dibagikan pada grup perbincangan berjejaring digital. Menteri yang diwawancarai adalah Menteri yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Sari wawancara yang berhubungan dengan dosen pegawai negeri sipil, dan sekolah menengah tidak dituliskan.
Menurut Prof. Sumantri, arah pendidikan tinggi ke depan adalah yang berhubungan dengan kebutuhan industri, agar lulusan perguruan tinggi terserap ke dunia kerja. Maka perguruan tinggi harus bisa membaca arah angin. Membuka program studi -- program studi yang memiliki peluang di masa depan. Jangan terlena oleh kejayaan masa lalu, tetapi harus terus menerus beradaptasi dalam dunia perubahan yang semakin cepat.
Pekerjaan dosen di Indonesia adalah mendidik, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Maka energi dosen jangan habis pada persoalan-persoalan administratif. Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi sedang mengkaji, agar ada solusi dan regulasi yang menjadikan para dosen fokus pada peningkatan mutu pengajaran dan riset. Kondisi para politisi dan pejabat elit negara yang bisa mudah menjadi Guru Besar pada sistem di masa lalu, sesungguhnya melukai perasaan dosen-dosen biasa yang tekun di profesinya.
Otonomi perguruan tinggi negeri disalahpahami sebagai kemandirian finansial oleh Kementerian Keuangan dan pihak -- pihak lainnya. Seharusnya otonomi Perguruan Tinggi Negeri itu lebih kepada independensi tata kelola dan kebebasan akademik. Negara tetap wajib memberikan asupan dana buat Perguruan Tinggi Negeri. Perguruan Tinggi Negeri jangan membuka kelas -- kelas yang terlalu banyak, tidak sesuai proporsi dan rasio jumlah dosen, sehingga menggerus calon mahasiswa yang mau masuk ke Perguruan Tinggi Swasta.
Alumni Beasiswa LPDP tetap wajib pulang ke Indonesia. Tapi tak mesti langsung pulang saat masa studinya berakhir. Jika ia bisa mengembangkan diri di luar negeri, maka silahkan ambil kesempatan itu untuk kemudian jika Indonesia sudah siap menerima kepulangan mereka, maka pulanglah untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi.
Menjamurnya pengangguran dari lulusan perguruan tinggi dan mandegnya industrialisasi di Indonesia adalah karena kebiasaan kita, bangsa Indonesia, yang selalu impor dan impor. Permasalahan ini tentunya bukan menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh perguruan tinggi. Tetapi perguruan tinggi bisa menjadi aktor kunci dalam mendorong berkembangnya industri dalam negeri yang maju. Perguruan tinggi menjual pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia yang mengembangkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H