Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Book

Perlunya Menjaga Hati dalam Kehidupan

29 Juli 2023   10:02 Diperbarui: 29 Juli 2023   10:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati adalah sekeping daging dalam tubuh manusia. Bukan sembarangan, karena ia bisa memandu tubuh ini menjadi baik atau tidak. Maka ada syair menyatakan "jagalah hati" yang diakui kebenarannya lintas agama dan keyakinan,  bahkan mungkin lintas budaya internasional.

Pada konteks kehidupan berorganisasi, kita juga perlu menjaga kemurnian hati dalam berorganisasi. Seperti yang menjadi jargon sebuah Koperasi Dosen dan Karyawan: Niat Baik, Proses Baik, Hasil Baik. Jika kita bisa menjaga hati, meniatkan untuk kebaikan, maka kebaikan-kebaikan akan bertaut dan berkumpul. Perbedaan pandangan politik bisa menjadikan polaritas dalam organisasi. Hal itu diperburuk dengan dendam. Pemeliharaan dendam dan pewarisan dendam akan membawa dampak buruk bagi organisasi. Stop membawa dendam kelompok, sudah waktunya bekerja sama berorientasi pada luaran.

Adanya determinasi, tekanan, di dunia kerja, sangat mungkin terjadi. Namun jangan sampai dibawa ke ranah pribadi. Marahlah di tempat marah pada waktu marah- Makanlah ditempat makan pada waktu makan -- demikian pepatah kuno mengatakan. Namun faktor budaya juga perlu untuk dijadikan determinan. Jangan ada budaya daerah tertentu yang dominan. Karena dengan demikian akan menafikan keberagaman yang ada secara faktual di organisasi. Budaya daerah mempunyai plus dan minus tertentu, yang tidak semua anggota organisasi akan memahami dan menghayatinya. Semisal, jika pimpinan tertinggi bersuku Jawa, maka nilai budaya Jawa menjadi patokan bagi seluruh anggota organisasi. Padahal di dalamnya ada Betawi, Deli, Jawa, Bali, Bima, Melayu, Aceh, dan sebagainya. Sangat sulit bagi beberapa orang untuk bersikap dan bersistem nilai budaya Jawa. Tetapi jika yang diambil sebagai sistem nilai adalah nilai universal yang baik, seperti budaya tepat waktu, budaya egaliter, budaya meritokrasi, dan lainnya, maka semua akan sepakat dan menyesuaikan dengan budaya tersebut.

Pada ayat kalam suci disampaikan bahwa orang yang baik akan dikumpulkan dengan orang yang baik. Pada konteks ini, sangat penting untuk menjadi seseorang yang berbaik-baik, terutama kebaikan hati. Karena jika hatinya tidak baik, se tua (senior) apapun seseorang maka akan minus. Minus disini bisa berarti minus kebaikan, yang berdampak pada kurangnya penghormatan dari yang lebih muda (junior). Jika organisasi dibangun atas dasar senior dan junior, maka tinggal tunggulah kehancurannya.

Organisasi yang modern harus berorientasi kepada meritokrasi. Penghargaan terhadap prestasi dari para anggotanya. Jika didasari pada senioritas, maka akan memperlambat pengkaderan, yang berdampak pada keterlambatan dalam transformasi kelembagaan, dampak buruknya adalah organisasi menjadi lamban mengantisipasi perubahan. Akibat selanjutnya adalah organisasi menjadi barang antik yang ditinggalkan oleh para anggota potensial. Kereta tua yang lambat didorong.

Rumusnya adalah ikhlash, ujar seorang khatib Jumat kemarin siang. Ikhlas dengan segala yang terjadi. Ikhlas menerima kemenangan dan kekalahan, seperti juga ikhlas ketika diberikan cobaan kekurangan harta atau kelebihan harta. Jika kita ikhlash dengan apa yang terjadi, sedikit banyaknya rezeki akan kita syukuri.

Organisasi yang berorientasi pada meritokrasi, akan mengumpulkan yang terbaik dari tim yang muda dan yang tua. Suatu proyek bisa dipimpin oleh senior, beberapa proyek akan dipimpin oleh anak muda. Semuanya bekerja sama, bersinergi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Seperti pada catatan di buku UNBOSS, Taylorisme sekarang sudah mati. Dunia berubah pesat, maka manajemen organisasi harus berubah menjadi lebih egaliter, partisipatif, dan penghargaan kepada independensi karyawan, serta merubah pola pikir desentralisasi pekerjaan yang monoton. Dengan cara tersebut, maka potensi karyawan dapat dioptimalkan, dan mereka memiliki kebebasan untuk berkembang secara pribadi maupun organisasi.

Di dunia swasta ada lelang jabatan. Kemudian hal ini juga masuk menjadi terobosan manajemen di beberapa level pemerintahan. Sebagai contoh di Pemda DKI Jakarta pada masa Gubernur Basuki Tjahaya Purnama. Dengan lelang jabatan, maka yang akan menduduki posisi adalah mereka yang paling kompeten di bidangnya.

Rujukan: UNBOSS: An unlimited Movement, karangan Lars Kolind & Jacob Botter (renebook)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun