Menjadi guru atau dosen pada masa setelah kecerdasan tiruan menyeruak secara nyata, membuat lanskap pendidikan, dalam hal ini pembelajaran di kelas-kelas, berubah drastis. Bagi mereka yang menyadarinya. Dan para siswa, serta mahasiswa, menyadari dengan cepat lalu mereka beradaptasi dengan itu. Bagi guru dan dosen, mereka harus mencari cara, agar pembelajarannya tetap relevan, ilmiah, dan menarik. Satu hal yang tidak diajarkan oleh kecerdasan buatan adalah berkelakar dalam perkuliahan, atau berpantun.Â
Menurut penulis, dosen atau guru jenjang SMP dan SMA atau yang setara, bahkan mungkin pada kelas-kelas lebih rendah, pada tahun ajaran baru di semester depan, harus siap-siap dengan merebaknya pemakaian kecerdasan tiruan dalam pembelajaran. Karena mereka pasti akan mengetahuinya dan memanfaatkannya dari interaksi mereka dengan media sosial dalam kesehariannya. Pada iklan di media sosial sering muncul, betapa mudahnya menjadi content creator saat ini, karena materi bisa tanya ke chatgpt, kemudian ada aplikasi text to speech, serta aplikasi pengolahan video untuk figur yang ditampilkan.Â
Maka mau tidak mau materi tentang teknologi harus selalu diperbaharui agar sesuai dengan kemajuan jaman, dalam pelatihan menjadi dosen profesional atau sertifikasi guru (Pendidikan Profesi Guru maupun Pekerti/Pelatihan Teknik Instruksional). Guru saat ini bukan profesi rendahan. Bahwa siapapun bisa menjadi guru, sarjana bukan jurusan kependidikan bisa. Tapi jangan coba-coba menjadi guru tanpa adanya kecintaan terhadap profesi guru. Karena jika guru yang mengajar tanpa kecintaan, maka ilmu yang diajarkannya akan terasa hambar. Ilmu itu adalah cahaya, menurut Imam Ghazali. Untuk memperoleh ilmu yang benar itu perlu keseriusan dan ketekunan.
Memberi tugas untuk membuat presentasi atau makalah akan dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat. Tetapi mereka akan terbata-bata dalam menjelaskan, jika hanya mengutip dari aplikasi kecerdasan tiruan. Penulis pernah menonton sebuah serial yang membeberkan masyarakat dimana robot telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan mereka mempunyai rasa benci, rasa cinta, dan mampu meng-update piranti lunak yang dimilikinya, sehingga mencapai pada suatu kesadaran. Kesadaran pada film itu adalah pemberontakan, robot tidak lagi mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diprogramkan kepada mereka.Â
Mereka memberontak, dan membuat jejaring sesama robot yang memiliki kesadaran tersebut. Menyitir sebuah tulisan pada situs Scientific American tentang kesadaran atau perasaan subjektif kecerdasan buatan: to create consciousness, the intrinsic causal powers of the brain are needed.Â
And those powers cannot be simulated but must be part and parcel of the physics of the underlying mechanism (untuk menciptakan kesadaran, diperlukan kekuatan kausal intrinsik otak. Dan kekuatan itu tidak dapat disimulasikan tetapi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari fisika mekanisme yang mendasarinya). Penulis masih berkeyakinan bahwa pola kerja otak manusia pada beberapa hal, lebih unggul dari kecerdasan buatan. Walaupun diakui banyak sekali manfaat kecerdasan buatan dalam memudahkan pekerjaan manusia modern saat ini.
Mahasiswa atau siswa jaman sekarang harus dilatih bertanya. Karena dengan bertanya meningkatkan kemampuan berfikir mereka, meningkatkan partisipasi dalam pembelajaran, membangkitkan rasa ingin tahu, dan memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas, demikian disitir dari situs resmi kementrian pendidikan di Indonesia.Untuk bertanya perlu nyali, untuk memiliki nyali perlu adaptasi dengan lingkungan pembelajaran. Dengan adaptasi maka mahasiswa atau siswa merasa aman dan nyaman di dalam kelas. Mereka merasa sejahtera. Kesejahteraan siswa ukurannya bukan hanya materi saja, tetapi juga immaterial.Â
Maka pemerintah mendorong agar terkikisnya tiga dosa besar pendidikan dibumi hanguskan dari sekolah manapun. Ketiganya itu adalah perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Ketiga hal tersebut harus menjadi concern bagi pedagog di sekolah dan perguruan tinggi. Sehingga tujuan pembelajaran dan pendidikan yang terlukis dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dapat tercapai dengan baik.
Guru-guru jaman sekarang, memperoleh kemudahan dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Buku semakin compact. Pembelajaran yang memanfaatkan multimedia saat ini sudah tidak bisa dihindarkan. Walaupun demikian, perubahan paradigma dalam pembelajaran berjalan lamban, karena pola pembelajaran klasikal adalah habit sebagian besar guru di Indonesia. Menjadi guru identik dengan mampu menguasai materi dan menyampaikannya di depan kelas. Pada masa sekarang, pembelajaran yang dilakukan bersifat "membelajarkan", yaitu membuat siswa aktif dalam pembelajaran.Â
Pemerintah mendorong perubahan radikal dalam pembelajaran dengan meluncurkan Kurikulum Merdeka. Dengan guru sebagai sasaran perubahan utama, dengan Program Guru Penggerak, pemerintah berharap terjadi perubahan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah. Penghargaan terhadap keragaman potensi siswa menjadi tujuan, seperti juga kesejahteraan siswa dalam persekolahan (student's wellbeing). Pendidikan karakter menjadi utama, dengan menggerakan semboyan Profil Pelajar Pancasila sebagai pusat dalam kegiatan sekolah. Perlu juga diperhatikan bahwa guru akan berdaya, dengan dukungan dari kepala sekolah.Â
Hal ini yang juga perlu diperhatikan oleh Mas Menteri. Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan milik pemerintah dan lembaga pendidikan swasta memiliki pola kepemimpinan yang relative berbeda. Misalnya dalam birokrasi tata kelola, dimana lembaga pendidikan swasta akan lebih fleksibel terhadap perubahan-perubahan.
Murid dan mahasiswa jaman sekarang membaca teks pada berbagai moda. Kalau jaman dahulu pada buku, kamus, majalah, ensiklopedia dan teks sejenisnya, kini semuanya bisa didapatkan secara daring, secara elektronik. Bahkan pengertian teks juga meluas daripada sekedar tulisan. Penafsiran teks saat ini bisa juga berupa video, grafis visual, dan turunannya di media sosial. Kedigdayaan guru dalam menguasai literasi teknologi informasi, pada banyak kasus, dikalahkan oleh murid atau mahasiswanya.
Pada Kompas 28 Juni 2023 disampaikan data penelitian bahwa sektor pendidikan 33% terpengaruh oleh IA (kecerdasan buatan). Hal ini tentu saja menjadi antisipasi bagi para dosen dan birokrat pendidikan di kampus-kampus. Jika ada sesuatu yang baru, reaksi kita antara tiga. Menolak atau menyangkal, menerima dengan filter atau defens tertentu, dan menerima seratus persen. Menurut bahasa sederhana penulis. Penemuan kecerdasan tiruan yang menyimpulkan dari data yang mereka kumpulkan, dapat menyimpang dari kebenaran.Â
Oleh karena itu, maka para dosen dan birokrat pendidikan harus mampu mengelola hal tersebut, menjadi lebih pintar daripada kecerdasan buatan. Tujuan perkuliahan jangan diabaikan karena kemudahan pakai kecerdasan buatan. Apabila kita sebagai pengajar hanya terpaku pada literasi ilmu pengetahuan yang biasa-biasa saja, maka pengalaman perkuliahan kita akan menjadi kurang menarik bagi mahasiswa sang generasi z. Oleh karena itu perlu dipikirkan tentang kontekstualitas pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.Â
Sehingga mereka akan merasakan bahwa pembelajaran bermanfaat bagi kehidupannya. Pada video Rhenald Kasali di Youtube pernah dibincangkan bahwa hanya 20 % saja apa yang dikuliahkan dipakai oleh para pekerja Freeport yang berasal dari universitas ternama di Indonesia. Maka dari itu, sangat penting bagi kampus-kampus, baik swasta dan negeri, untuk memberikan pengalaman pembelajaran bagi mahasiswa yang sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja. Mendorong mereka agar bisa memiliki mindset bertumbuh. Sehingga mampu beradaptasi dengan jenis-jenis pekerjaan baru yang makin lama semakin banyak, dan tidak diajarkan di bangku persekolahan maupun perkuliahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H