Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pasar Rebo: Perempatan yang Lebih dari Sekedar Latah Media

3 Juni 2023   10:30 Diperbarui: 3 Juni 2023   10:33 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana "ngabuburit" di Flyover Pasar Rebo (Sumber: merdeka.com https://www.merdeka.com/foto/jakarta/71267/20120724212413-ngabuburit-di-atas-flyover-pasar-rebo-001-debby-restu-utomo.html)

Penyakit latah media massa saat ini adalah mengutip dari netizen. Netizen adalah identitas seseorang di dunia maya. Identitas atau akun tersebut biasanya adalah nama-nama samara yang sangat bisa jadi tidak mudah untuk diidentifikasi identitas sebenarnya. Sistem dalam media sosial dan internet di Indonesia sangat memungkinkan untuk itu. Seseorang bisa membuat banyak akun yang akan dipergunakan sesuai dengan minat dan kepentingan masing-masing. Di televisi swasta, dan bahkan di televisi nasional milik pemerintah, penulis menemukan gejala itu. Suatu peristiwa yang viral (direkognisi banyak orang) ditayangkan di televisi, kemudian komentar-komentar para netizen ditayangkan, dengan ada sensor pada nama akunnya. Latah Media menggambarkan dunia yang sedang bergerak dari satu nilai ke beragam nilai. Dari satu versi ke multiversi. Bagi Generasi Z dan generasi sesudahnya, itulah hal kongkrit yang mereka pahami tentang dunia ini. Dunia yang luber dengan informasi dan ilmu pengetahuan, dunia yang  mana teknologi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Sesuatu hal yang remeh temeh pada masa lalu, kini menjadi hal yang penting dan dikonsumsi massa. Pilihan berita bergerak dinamis. Tokoh-tokoh yang menjadi bahan berita media massa semakin bervariasi. Seseorang nenek-nenek mengulek sambel bisa menjadi pusat pemberitaan. Muncul pekerjaan baru yang bernama pembuat konten, content creator. Khasanah politik dan bisnis memunculkan istilah buzzer, pendengung. Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk mempopulerkan sesuatu melalui media daring pada berbagai kanal yang memungkinkan. Mereka yang bergerak disini bisa dari profesional maupun amatir. Seorang amatir Ketika viral akan bergerak menjadi profesional. Seorang artis yang sudah tidak beredar di papan atas, dapat menjadi pembuat konten. Menceritakan kehidupan sehari-harinya dengan anak yang lucu dan istri yang cantik. Menawarkan hiburan bagi kaum papa yang sehari-hari bergelut dengan pekerjaan demi makan dan kebutuhan harian yang tidak menentu.

Kebaikan dari viral ini adalah respon positif. Sesuatu yang viral yang menyangkut ketidak adilan, ketimpangan, atau hal lainnya yang melibatkan pemerintah, biasanya pemerintah akan merespon dengan baik. Seperti kasus jalan raya di Lampung. Netizen, blogger, tiktoker, youtuber, selebgram atau sejenisnya menjadi pilar demokrasi terakhir. Mengawasi pemerintah, pemilik modal, konglomerat, pengusaha, atau siapapun yang bertindak zalim terhadap kemanusiaan. Saat ini segala sesuatu begitu mudah untuk diunggah ke media daring. Saat macet di jalan raya Jakarta, bisa dilihat beberapa orang memotret kemacetan, lalu mengunggahnya ke media daring, mungkin laporan kepada bos ditempat kerja, atau sekedar kesal waktu perjalanannya terdistorsi. Keburukan dari yang viral adalah saat membawa konten negatif. Atmosfir nir sensor membuat wabah negatif merebak kepada generasi muda, bahkan di usia PAUD maupun Kelas Rendah SD. Karena permisivisme orang tua dalam bermedia, membuat mereka terlena dalam dunia digital, abai dalam pergaulan dunia nyata.

Tetapi masalah kota Jakarta yang riil juga banyak yang tidak terekspos di media massa atau media daring. Sebagai pemotor yang melintasi perempatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penulis merasa bahwa perempatan ini sudah dikooptasi oleh keluarga-keluarga jalanan. Disini ada ibu-ibu, anak-anak bawah lima tahun, anak-anak remaja, laki dan perempuan, serta orang dewasa lainnya yang duduk-duduk di sekitar taman perempatan pasar rebo. Ketika lampu merah menyala, anak-anak meminta uang, mengamen dengan nyanyian yang tidak jelas. Ada susunan kotak kayu bekas, disusun bentuk kotak, untuk menyembunyikan badan yang tertidur di bawah jembatan flyover pasar rebo. Keluarga Perempatan Pasar Rebo, dengan membawa bayi dan balita di sekitaran perempatan, tentu akan terdampak polusi serta lingkungan yang tidak ramah anak. Mereka adalah gambaran bahwa ibukota menjadi daya tarik bagi semua orang untuk mencari kehidupan. Ini bukan hal yang remeh temeh. Ini adalah bukti adanya bagian masyarakat yang tersisih dari pembangunan Kota Jakarta. Mereka yang terpaksa (atau sengaja) mengisi hari-harinya di taman Perempatan Pasar Rebo. Coretan dinding, menurut Iwan Fals adalah tanda pemberontakan kucing hitam. Ia juga muncul di badan jalan  flyover Pasar Rebo. Menggambarkan kegelisahan dan keresahan generasi yang tidak terdengar dan ingin didengar. Grafiti kota di New York pernah menjadi masalah, teori kaca pecah seperti diceritakan DI SINI.  

Terminal Bayangan, itu adalah istilah lainnya dari Perempatan Pasar Rebo. Karena dari sini bisa mencegat bus menuju kota-kota lainnya. Terminal aslinya bernama Terminal Kampung Rambutan. Pilihan untuk mencegat bis disini karena efektifitas dan efisiensi, serta dukungan fasilitas yang ada. Hanya berdiri di pinggir jalan, maka bis akan mendekat dan menawarkan perjalanan sesuai kebutuhan. Bahkan pada beberapa kasus, bisa terjadi tawar menawar harga pas tancap gas, antara calon penumpang dengan kondektur. Namun mencegat bis antar kota disini bukan tanpa resiko. Ada saja orang yang memanfaatkan kesempatan dan kesempitan. Selain dari pengamen tadi. Ada orang yang berpura-pura kehabisan uang untuk pulang kampung (ke Garut), kemudian meminta-minta dengan memelas kepada para calon penumpang di perempatan Pasar Rebo. Besoknya, orang itu masih ada di situ, dan belum berangkat-berangkat juga. Karena ia sebenarnya bukan orang Garut yang mau pulang kampung. Ia adalah seseorang yang memanfaatkan rasa belas kasihan orang, untuk kepentingan diri sendiri.

 Bahkan di flyover Pasar Rebo, jika suatu saat melintas disana, juga ada pengamen, serta para pedagang kaki lima. Mereka ada karena ada konsumen. Konsumennya adalah para pemotor yang berhenti melepaskan penat, atau orang-orang yang sengaja datang ke sana, untuk suatu hal. Memarkir motor di sisi jalan layang, memandang keruwetan lalu lintas di bawahnya, dan mengadakan obrolan dengan lawan bicara. Beberapa waktu lalu ada tawuran pelajar di sekitar sini. Setelah polisi konsisten melakukan penjagaan, kegiatan tawuran pelajar berkurang. Bergerak ke arah Pasar Induk, sepanjang jalan adalah pasar buah. Disini pasar tidak resmi untuk membeli buah-buahan impor maupun lokal. Pasar Rebo dan Pasar Induk sebegitu saja. Siapapun gubernurnya. Para pedagang itu kadang-kadang menghilang, karena ada operasi ketertiban umum. Kemudian Kembali lagi. Seperti juga para pedagang di flyover Pasar Rebo. Pemanfaat Terminal Bayangan selalu eksis sepanjang hari dan malam. Disini adalah denyut kehidupan ibukota dan kota-kota penyangga-nya. Belum ada solusi kongkrit dari pemerintah provinsi DKI Jakarta bagi para PMKS kota, penyandang masalah kesejahteraan sosial. Kegiatan yang razia sering dilakukan namun tidak efektif mengurangi pelaku PMKS ibukota. Mungkin konsepnya sudah ada, tetapi bagi pengamat Perempatan Pasar Rebo seperti penulis, sepertinya belum benar-benar terimplementasikan dengan baik. Ibukota belum menjadi tempat yang ramah bagi semua orang. Kriminalitas bisa mengancam secara sembunyi-sembunyi.

Jadi kalau ada yang bertanya apakah kenangan anda tentang Pasar Rebo? Mungkin jawaban yang seragam dari sejak tahun 1990-an sampai sekarang adalah: terminal bayangan, kios pedagang buah, bis-bis berhenti mencari calon penumpang, pedagang kaki lima, jaga diri dan barang bawaan, sesekali ada razia polisi atau petugas dishub, serta jangan terlalu mudah percaya kepada siapapun yang anda temui disana. Selamat pagi Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun