Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepemimpinan Kolektif Kolegial

2 Juni 2023   21:48 Diperbarui: 3 Juni 2023   07:40 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemimpinan model partai politik saat ini menggambarkan para pemimpin partai sebagai pemegang saham terbesar dari partainya. Oleh karena itu, mereka yang memimpin paling berhak untuk pengambilan keputusan penting. Tidak usah menyebutkan nama. Lebih lanjut bahasan tentang ini penulis baca dari tulisan Moh Ilham A Hamudy di sini.

Kader partai diambil dari anggota keluarga, pengurus organisasi, atau alumni dari organisasi kepemudaan. Bisa jadi dari orang yang sudah terbukti memiliki daya jual, karena kaya raya, karena seniman terkenal, atau anggota keluarga dari tokoh terkenal atau berpengaruh. Jika dalam organisasi Muhammadiyah, kader Muhammadiyah bisa berasal dari keluarga, dari amal usaha, ataupun dari organisasi Muhammadiyah dengan beragam organisasi otonomnya. Banyak jalan menjadi kader Muhammadiyah yang baik. Sebagai organisasi Islam yang mengutamakan aturan organisasi, Muhammadiyah mempunyai pedoman berorganisasi yang tertib sejak dari ranting sampai ke pusat. Setiap pimpinan pada level tertentu diharapkan dapat memiliki amal usaha. Seperti sekolah, panti asuhan, rumah sakit, usaha bisnis perdagangan, jasa dan sebagainya. Dengan pengelolaan tersebut, maka akan menarik kader dari kalangan masyarakat yang belum berorganisasi di Muhammadiyah. Masalahnya jika ranting atau cabang tidak memiliki amal usaha, ia akan bergerak pada pengajian demi pengajian, yang lama-kelamaan akan membosankan, tidak ada gerakan. Maka ia akan ditinggalkan. Pada beberapa kasus terlihat bahwa amal usaha Muhammadiyah yang bagus bergerak dengan dibantu kader-kader dari organisasi otonom yang progresif. Berani untuk berbuat sesuatu yang baru, sehingga sekolah tersebut menjadi unggulan, kualitas terjamin, bahkan dengan pendaftar yang harus indent, itu menunjukkan banyaknya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut.

Persaingan dalam politik membutuhkan amunisi yang besar. Sudah menjadi pembicaraan umum, untuk menjadi anggota parlemen tingkat kabupaten atau kota membutuhkan dana segini segitu. Menjadi pejabat Gubernur atau Bupati memerlukan modal segini segitu, apalagi menjadi Presiden. Sumbangan terhadap partai politik di AS dibuat transparan, demikian pula penggunaannya. Dengan demikian, masyarakat akan tahu mau dimana arah pembangunan negara nya, demokrat atau republikan yang akan memimpin.

Kepemimpinan kolektif kolegial adalah idealisme pada organisasi kemahasiswaan yang masih aktual untuk diterapkan. Dimana dominasi seseorang dikurangi, serta keputusan-keputusan organisasi diputuskan, dan dibicarakan secara terbuka dengan logika berfikir masing-masing. Dengan memperbanyak ruang diskusi, maka hasil keputusan yang diambil diharapkan dapat menguntungkan. Pada satu waktu, diperlukan otoritas pimpinan tertinggi, hal ini juga baiknya adalah selaras dengan kesepakatan kolektif kolegial. Hal ini sesuai dengan konsep "Wa Amruhum Syuraa Bainahum" pada kitab suci, yaitu mengedepankan musyawarah. Bukan kah hal ini juga yang diterapkan pada masa-masa kepemimpinan 4 sahabat Rasulullah SAW.

Pada organisasi yang berjenjang, dari tingkat ranting, cabang, daerah, dan wilayah, sampai ke pusat, kepemimpinan kolektif kolegial mendorong pemerataan peran para pemimpin organisasi. Kalau mau berkontribusi besar, tidak mesti menjadi ketua umum. Karena semua orang berhak berbicara, berhak untuk menentang dan menerima pendapat yang berseliweran saat curah pendapat. Biasanya ada permainan "devil's advocate", sebuah gagasan dipertanyakan, dikuliti, ditentang oleh satu pihak, dan lainnya membelanya. Untuk menjaga harmoni kolegial, diharapkan heterogenitas para aktivis, semisal pada kesukuan, karakter, daerah, gender dan lainnya. Homogenitas akan membawa kepada bias dalam pengambilan keputusan. Sama seperti gambar pada buku pelajaran IPS, yang dibuat oleh kaum mayoritas, maka cenderung menampilkan mayoritas.


Penyakit nya adalah zona nyaman, tidak mau mengkader, takut oleh orang muda, merasa yang paling menguasai organisasi. Padahal jaman terus berkembang, orang berubah, jaman berubah, dan organisasi-pun harus berkembang mengadaptasi perubahan-perubahan. Dr M dan Lee Kuan Yew adalah tokoh sejaman yang memiliki pola pengkaderan berbeda. Pimpinan Pendiri dan penerus Pondok Modern Darussalam Gontor terdiri dari 3 figur yang memiliki peran masing-masing, disebut Tri Murti. Dengan dukungan dari lembaga Badan Wakaf, pesantren ini sukses dalam mengembangkan organisasinya sehingga bisa memperluas pesantren di berbagai daerah, dan pada saat ini, akselerasi yang mencengangkan adalah pencapaian perguruan tinggi pesantrennya, Universitas Darusalam Gontor, memperoleh akreditasi tertinggi dalam sistem akreditasi perguruan tinggi di Indonesia, UNGGUL. Pencapaian itu tidak mengherankan, jika melihat etos kerja para pendiri dan penerusnya, yang terus menerus bekerja keras memajukan pesantren dan kelembagaannya jelang usia satu abadnya.

Jika sekelompok saja yang berkuasa, relatif homogen, maka ia menjadi elit. Sebagian kecil yang menguasai sebagian besar. Untuk menjadi elit, memang diperlukan kemampuan bergaul yang luwes dengan berbagai kalangan. Hal ini biasanya menjadi modal awal dari para pengurua organisasi yang berasal dari aktifis mahasiswa atau organisasi lainnya. Suka mengadakan jejaring, serta dapat menerima pendapat dari berbagai kalangan. Serta mempunyai pola pikir yang berkembang, growth mindset.

Kepemimpinan dimulai dari jenjang terendah lalu merangkak maju sampai ke tingkat nasional. Pengkaderan dilaksanakan secara berjenjang. Jika organisasi diikuti dengan sungguh-sungguh, maka pemimpin akan melaksanakan kepemimpinan dengan mencetak para pengganti. Bukan sekedar di zona nyaman, stucks, terus menerus mengkooptasi organisasi demi keuntungan kelompoknya. Maka bagi para pengurus organisasi harus mulai berfikir faaina tadzhabuun, mau kemana engkau akan pergi… apakah akan meninggalkan generasi muda yang rapuh demi kenyamanan pribadi. Atau hendak menyisihkan waktu untuk menyiapkan kader agar muncul pengganti diri kita yang lebih baik daripada kita.

Kepemimpinan kolektif kolegial menghargai setiap suara. Memutuskan bersama dan menjaga keputusan secara bersama. Memang sangat mungkin ada vested interest, tetapi itu semua dibuka, sehingga jadi pemahaman bersama, bukan disembunyikan. Pada organisasi pemerintah, untuk melakukan nepotisme sangat sulit karena adanya aturan-aturan. Pada organisasi atau lembaga swasta sangat mungkin untuk melakukan nepotisme, asalkan dalam praktiknya tidak melupakan unsur meritokrasi. Orang yang dititipkan dalam organisasi harus memiliki kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Jika tidak sesuai maka ia harus out.

Pada jaman sekarang, kondisi organisasi dimanapun, akan mendapatkan tantangan yang mondial. Jika masih berfikiran sempit, maka akan menjadi medioker semata. Semisal sekolah. Untuk memperoleh sekolah unggulan, maka diperlukan sumber daya manusia guru yang bermutu, dengan kurikulum bermutu, serta pengelolaan yang bermutu. Upah guru juga bermutu, sehingga tidak perlu untuk mencari dana tambahan untuk menyambung sumbu kehidupan keluarga.

Bukan saatnya sekolah unggulan hanya mengharapkan uluran tangan dermawan. Sekolah unggulan akan tercapai oleh visi sekolah yang disepakati oleh Yayasan, Guru dan Kepala Sekolah, serta organisasi kinerja yang mendukung. Sekolah Unggulan bukan hanya dari ukuran kuantitatif fasilitas atau tuition fee. Tetapi dari bagaimana lingkungan sekolah memanusiakan manusia, dari unsur guru, siswa, maupun staf. Dan yang paling penting adalah kepemimpinan pendidikan sekolah yang menjadi role model. Jika di Australia, pendidikan dipandang sebagai bisnis, sehingga perguruan tinggi dari Indonesia, jika akan bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, harus berhati-hati, karena mereka memandang pendidikan (tinggi) sebagai bisnis. Pengalaman penulis, bekerja sama dengan perguruan tinggi Australia yang tidak melibatkan uang sangat sedikit, kecuali memang ada pembiayaan pemerintah Australia yang memang dialokasikan untuk itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun