Alumni di Almamater. Bekerja membesarkan lembaga. Bekerja bersama non alumni. Alumni memiliki rasa memiliki, bukan berarti non alumni juga tidak memiliki rasa memiliki.Â
Alumni sama juga dengan manusia lainnya yang non alumni. Memiliki kualitas individu yang beragam. Ada yang berkualitas premium, unggul, biasa, bahkan biasa saja. Maka mengelola alumni perlu dilakukan dengan mengetahui hal-hal tersebut.
Alumni membawa kesejarahan di lembaga. Membawa jati diri organisasi tetap terjaga. Maka top manajemen adalah mereka yang bisa membuat hal tersebut tetap terjaga.Â
Alumni atau bukan alumni, tetap alumni memiliki nilai jual yang lebih baik. Coba deh perhatikan, kampus perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia.Â
Sangat sedikit yang dipimpin oleh bukan alumni. Rektor Unsyiah Aceh adalah alumni Unsyiah 1987. Ada juga yang bukan alumni, Rektor Uncen Papua adalah alumni Universitas Sebelas Maret jurusan Teknik Sipil. ITB, UI, UGM, UNAIR, Udayana, maupun IPB Bogor juga dipimpin oleh para alumninya.
Bukan alumni memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan alumni. Memiliki kedudukan yang setara. Maka fanatisme alumni hanya perlu dibangkitkan untuk sesuatu yang positif.Â
Jangan semata untuk kepentingan golongan tertentu, golongannya dan kelompoknya. Karena sudah pernah ada sejarahnya, alumni juga merusak kelembagaan almamaternya baik secara halus maupun kasar.
Di jaman dimana organisasi modern terus menerus menemukan pola baru. Wawasan dari luar perlu terus menerus dipelajari untuk memperoleh wawasan pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki keberlanjutan (sustainability). Pengelolaan perguruan tinggi jaman sekarang tidak lagi sama dengan yang terdahulu di Indonesia.
Keterampilan riset dosen, pola pembelajaran dinamis, industrialisasi dan kapitalisasi Riset, fleksibilitas pembelajaran, kolaborasi mitra jejaring dalam dan luar negeri, adalah beberapa contoh dari kata kunci untuk membuat perguruan tinggi bisa bertahan dan berkelanjutan di masa depan.
Pengajaran atau instruksional saja tidak cukup. Karena fungsi pengajaran bisa dilakukan oleh media daring, situs, atau MOOCS.
Profesor atau Guru Besar sekarang sudah berbeda dengan masa lalu. Dimana para pejabat bisa bergelar Guru Besar tapi dengan syarat yang minimalis.
Sekarang mereka harus punya kapasitas yang setara dengan para Profesor di negara negara maju. Memiliki riset yang berkualitas premium dan banyak. Mendikbud sekarang bukan Profesor, tapi punya visi dan misi yang besar untuk reformasi birokrasi pendidikan. Dan menjadi pemimpin tidak bisa memuaskan semua pihak. Itu pasti. Banyak pekerjaan rumah yang terus-menerus bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H