Bagi yang pernah menjadi pimpinan, kemudian dia turun jabatan, siap-siap dengan penyakit post power syndrom. Penyakit perasaan.
Bagi yang pernah mondok, lalu tidak pernah diangkat menjadi pemimpin di level apapun, (atau mungkin pernah satu saat jadi ketua level rendahan saja) maka mereka disebut oleh teman-temannya dengan nada bercanda sebagai kaum proletar.
Kaum proletar menyadari dirinya sendiri. Tidak diangkat oleh para ustadz pengarah sebagai pemimpin, karena memiliki sesuatu hal yang menyebabkannya tidak diberi amanah kepemimpinan.
Para ustadz juga memberi arahan penyemangat bahwa setiap diri adalah hakikatnya pemimpin, dan memiliki tanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dia emban. Minimal kepemimpinan terhadap diri sendiri.
Maka di pesantren, kaum proletar bukan golongan tanpa tujuan. Tanyalah mereka, mereka memiliki azzam, tujuan hidup yang pasti dan setiap langkah dikhidmatkan untuk mencapai tujuannya tersebut.
Misalnya penghobby baca buku, peminat bahasa Arab, peminat bahasa Inggris, peminat "body building", peminat orasi, peminat seni kaligrafi, peminat seni peran, dan sebagainya.
Memang pesantren modern merupakan kawah pengkaderan umat Islam. Tidak ada satu kejadian atau aktifitas apapun, kecuali mengandung nilai tarbiyah/pendidikan bagi para santrinya, dengan para ustadz yang senantiasa ikhlash dan sami'na wa atho'na kepada pimpinan pesantren.
Para pemimpin yang turun dan kemudian menderita post power syndrom kemudian akan sembuh. Kesembuhan ini memerlukan waktu yang berbeda-beda. Tergantung tingkat keinsyafannya menerima garis hidup.
Beberapa bisa bermetamorfosa menjadi pribadi baru yang berbeda. Misalnya menekuni ilmu akhirat, menekuni olahraga, menekuni hobby masa muda atau hobby baru, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang positif.Â
Kalau pesantren model tradisional yang dikelola oleh Nahdhiyin, tentu saja bermanfaat dan berguna, namun saya tidak begitu memahami sistem nilai yang mereka genggam, dengan kuantitas dan kualitas yang lebih beragam.
Memimpin pada saat ini adalah mengawal perubahan. Para kaum baby boomer, generasi X, generasi Y, generasi Z, lama kelamaan akan musnah (punah) :) dari roda organisasi. Saatnya kaum milenial menggenggam dunia.
Jika mereka masih mempertahankan pola lama dalam memimpin, tidak berusaha memahami kebutuhan milenial, maka kepemimpinannya akan berlalu just like dust in the winds.
Dalam kepemimpinan jaman sekarang ada konsep Disrupsi, Konsep Agil, Konsep Kecerdasan Artifisial, dan sebagainya dan sebagainya. Organisasi-organisasi semakin "cair", dunia kerja semakin terbuka dengan konsep-konsep kerja yang baru. Jasa pada masa lalu, akan jadi kenangan semata.Â
Mereka yang berjasa di masa lalu, belum tentu bisa bergerak di masa depan yang memiliki tantangan berbeda. Kebermanfaatan teknologi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar roda organisasi semaakin bertuah di era perubahan.
Para penderita post power syndrom sebenarnya tergagap-gagap di dunia yang terus berubah. Mereka perlu pemahaman baru tentang dunia ini. Para jenderal membawa pernyataan kembali ke UUD 1945, itu adalah nada usang bagi saya.
Sama seperti nada usang bahwa TNI berhadapan dengan komunisme modern yang sering merasuki dunia media sosial saat ini. Bisakah dunia ini di roll on ke belakang? nehi!
Jaman sekarang ini, memahami masa lalu itu perlu. Namun lebih penting lagi memahami masa depan. Menyitir Pak Wing dari UII, Orkestrasi organisasi diperlukan untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama secara kemitraan, kolaboratif, dan menyejahterakan bersama.
Jangan kuantitas tidak dapat dikapitalisasikan, hanyalah oleh segelintir elit organisasi. Perubahan mau gak mau akan memerlukan pengorbanan, dimanapun dan kapanpun, Maka, mari belajar terus..geluti hobby dan minat, serta jangan pedulikan gosip dan politik yang tidak terlalu ngaruh bagi jiwa kamu (rowahu Deddy Corbuzier huahahaha...!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H