Saya sedang membaca buku Teach Like Finland yang diterbitkan Gramedia. Buku yang "harus" dibaca oleh para pendidik Indonesia. Meskipun sudut pandangnya dari orang Amerika (Serikat) yang menikahi perempuan Finlandia dan menjadi guru di Amerika, lalu hijrah ke Finlandia dan menjadi guru disana. Tentu saja ada perbedaan sudut pandang. Namun itu mudah dipahami, jika kita sering membaca literatur dan wacana kependidikan, pengajaran dan keguruan.
Satu hal yang menggelitik adalah masalah kualitas pendidikan. Finlandia begitu konsisten dengan pendidikan terbaik dengan jam sekolah yang pendek. Tentu masih banyak variabel lain yang memberikan keunggulan pedagogik negara Viking tersebut.
Beda dengan di negara kita yang begitu banyak sekolah swasta. Dilihat dari performanya kualitas swasta banyak mengungguli negeri, dilihat dari standar Ujian Nasional. Â Tentu saja banyak sudut pandang dan wawasan lain yang penting untuk didiskusikan. Tapi saat ini dibatasi itu saja.
Oleh karena itu muncul asumsi umum bahwa untuk memperoleh pendidikan berkualitas perlu biaya mahal. Betulkah demikian? Tergantung kita memandang barometer dari kualitas pendidikan itu sendiri. Apakah dengan nilai UN, lingkungan yang baik untuk pendidikan moral/akhlak, atau kedua-duanya. Pendidikan adalah proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Â
Finlandia menyiapkan guru dengan serius. Untuk menjadi guru harus terseleksi dengan ketat. Pendidikan minimal adalah Master. Bimbingan dari guru senior ke guru baru sudah menjadi kebiasaan. Pendidikan disana gratis, tis, tis. Dan tidak ada sekolah swasta. Berbagai permasalahan pendidikan diaplikasikan di sekolah, dengan merujuk pada perkembangan pedagogi ter aktual.
Sejak penduduk Finlandia relatif homogen, sampai sekarang yang cenderung multikultur, kualitas pendidikannya stabil. Sistemnya teruji oleh jaman. Apa rahasianya? Buku dari Walker ini memberikan gambaran langkah-langkah yang dilakukan oleh guru di Finlandia, dan apa yang ia praktekkan di kelas-kelas di AS dan di Helsinki.
Sebenarnya pendidikan bukan untuk dibanding-banding. Tetapi pengukuran oleh PISA dan OECD menyatakan bahwa mutu pendidikan disana konsisten baik. Ini membuat penasaran negara-negara lainnya.Â
Beberapa hal yang menarik di buku ini menurut saya adalah: istirahat/jeda 15 menit di tengah pelajaran; bimbingan siswa kelas 6 terhadap siswa kelas 1 secara berpasangan; pekerjaan rumah yang simpel, membuat sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, pelajaran kemandirian, mengurangi pengrisakan (bullying) sebelum terjadi, penggunaan buku paket komersil; dan lainnya.
Intinya yang saat ini saya tangkap: guru adalah faktor penting dalam persekolahan. Lingkungan pedagogik mendukung. Siswa bahagia di sekolah. Tidak terlalu banyak ujian. Kemandirian diajarkan sejak dini. Kolaborasi - kolaborasi - kolaborasi dengan berbagai pihak. Mudah dituliskan, perlu wawasan untuk diterapkan.
Saat ini penulis sedang mengantri di SMP Negeri di Jakarta Timur. Untuk mendapatkan token untuk pendaftaran anak di sekolah menengah. Nomor 252. Sejak dibuka dari jam 08.00 WIB ternyata harus menunggu beberapa waktu untuk jaringan "online". Mudah-mudahan dengan sistem zonasi seperti sekarang ini kualitas sekolah merata dalam keunggulannya.
Banyak orangtua mengorbankan waktu kerjanya untuk mendaftarkan anaknya bersekolah. Sistem pesantren juga menjadi pilihan, tetapi biayanya juga lumayan. Sekolah gratis dan tidak gratis adalah pilihan bagi orang tua jaman sekarang.
Ke pesantren pendidikan agama lebih lengkap, ke sekolah juga diajari agama dan akhlak mulia. Sejatinya orangtua berperan besar dalam mendidik anak, untuk menjadikannya anak sholih/sholihah. Pengorbanan itu adalah investasi yang menjadi kewajiban orang tua. Memberikan yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H