Setelah terkena skandal suka main "belakang". Akhirnya uber bergabung ke grab. Pemain besar tersisa praktis cuma dua, gojek dan grab. Grab punya kekuasaan di Asia Tenggara, sedang Gojek di Indonesia. Asia Tenggara berpenduduk lebih dari 600 juta, sepertiga lebih hidup di Indonesia. Dari 250 jutaan penduduk Indonesia, populasi terbesar tinggal di pulau Jawa.
Maka penguasaan ekonomi, dan juga politik di Jawa, akan menguntungkan brand lokal seperti gojek. Kini tinggal bagaimana pertarungan dua raksasa "ojol" ini. Jangan-jangan seperti indomaret dan alfamart, bersaing tapi "berdekatan". UJung-ujungnya pemerintah harus menjadi wasit yang adil, agar rakyat jelata diuntungkan, jangan ada duopoli.Â
 Terus terang saya berlangganan keduanya, untuk mencari keuntungan selisih margin. Berbincang dengan pengemudi dilakukan untuk mengetahui bagaimana mereka memiliki pola kerja. Grab dan Gojek konon memiliki pola keuntungan masing-masing, tinggal mana yang menjadi pilihan bagi driver. Pada akhirnya mereka harus memilih, karena mendua hukumannya cukup menyakitkan... kalau ketahuan.Â
Seperti juga para pengemudi yang beberapa diantaranya punya dua akun di dua aplikasi. Mana yang paling menguntungkan akan diambil.
Uber dan Grab mau jadi layanan antar terbesar di Asia Tenggara.
Gojek disuntik modal asing sangat besar sehingga masuk jadi sponsor Liga sepakbola semi profesional Indonesia. Juga mampu memperluas core bisnisnya.
Budaya organisasi adalah masalah krusial di bisnis ini. Ada beberapa kasus penumpang menjadi korban kriminal dari grab atau gojek. Ini perlu diminimalisir. Semisal dengan fasilitas kamera terkoneksi ke markas masing-masing. Serta mungkin perlu ada corporate values training and guiding secara berkelanjutan bagi pengemudi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H