Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pengalaman Berlibur ke Korea

26 Februari 2018   17:22 Diperbarui: 26 Februari 2018   18:14 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kunjungan ke Korea Selatan di puncak musim dingin Seoul adalah takdir. Bagaimana yang seharus tidak kapabel menjadi lebih kapabel untuk menjalaninya. Walaupun secara hitung-hitungan tidak masuk. Tapi itulah rejeki. Bagaimana rejeki itu tidak bisa dihitung dengan satu variabel yang sama. Perjalanan pulang pergi menggunakan Garuda membuat perjalanan cukup nyaman. Apalagi bersama dengan pimpinan. Ada 17 orang yang berangkat bersama-sama dalam satu rombongan. Perjalanan 29 Januari sampai 3 Februari 2018. Meloncat dari musim hujan ke musim salju. 

Berangkat ke Seoul malam hari, dan sampai di sana pagi hari. Disambut salju musim dingin. Pemandu wisatanya adalah bebe, seorang anak muda Korea yang sekolah SMP SMA nya di Jakarta, dekat dengan taman wisata TMII. Seru juga mendengar perspektif Indonesia dan Korea yang dibulak balik oleh bebe. Ia cukup ganteng untuk ukuran Korea, tetapi tidak sebanding dengan lee minho wkwkwkk.

Lee minho kawe sepuluh katanya. bebe menempuh program sarjananya di Korea Selatan. Ia bercerita bagaimana pada tahun 1998 ayahnya bertekad berbisnis di Jakarta, istrinya nangis takut "jangan ke Indonesia, gak aman !" . Lalu ketika ibunya sudah senior dan karena suatu hal harus pindah ke Seoul, kembali ia nangis-nangis. "mengapa harus pindah ke seoul, di sini gak enak, gak ada sopir !! wkwkwkwk. Itulah bedanya, di Seoul susah nyari sopir, kalaupun ada biayanya mahal sekali. 

Enaknya disana adalah pada bus wisatanya. Bus wisata yang disediakan menyediakan wifi. Sehingga selama perjalanan bisa terus menghubungi keluarga di Indonesia. Namun cuacanya cukup dingin. Mengunjungi menara Seoul, kemudian mengunjungi Istana Tradisional disana. Itulah yang dikunjungi di hari pertama. Harga souvenir disini cukup mahal. Antara lain minatur menara seoul dan gembok cinta. Bagi yang memiliki bawaan pas-pasan, cukup untuk mengintip harga. Untuk dibandingkan dengan harga di Pasar Dongdaemun yang konon paling murah. 

Glocal. Mungkin itu adalah kata paling populer di Korea. Karena banyak ditemukan di berbagai lokasi dan di wifi. Bagaimana mengawinkan globalisasi dan nilai-nilai lokal. Sama seperti  begitu bangganya Cina, Jepang dan Korea untuk menghargai bahasa negerinya. Proud to be Asian. Kalau mau belajar tingkat sarjana di 3 negara tersebut, harus memiliki kemampuan berbahasa nasionalnya sampai level tertentu. 

Perjalanan dari Seoul ke Busan menggunakan kereta cepat berkecepatan 300 km/jam. KTX. Ditempuh dua jam lebih. Perjalanan cukup nyaman melintasi pemandangan yang fantastis antara lain perkebunan, danau beku, sungai beku, pertanian, pertanian, peternakan, hutan dan kota-kota.

Menurut bebe, cewek korea yang cakep hanya ada di televisi. Bener juga. Saat disana, banyak juga yang wajahnya biasa-biasa saja. Kalau artis banyak yang suka oplas (operasi plastik). Tapi kalau cowoknya, aktor, katanya jarang. Yangs eragam adalah mereka yang sudah senior. Wanita senior rata-rata rambutnya dikriting pendek mirip brokoli. hahaha. ternyata emang banyak yang seperti itu. Busan adalah kota pelabuhan, kota terbesar kedua setelah Seoul. bebe bilang orang Busan kasar-kasar, bicaranya keras, macho. Beda dengan Seoul yang lebih modis sehingga muncul istilah gangnam style. 

Di Busan kami mengunjungi BUSF. Universitas yang cukup mentereng dari reputasi dan juga gedungnya. Gedungnya yang di bebukitan difasilitasi oleh adanya elevator mirip di mall pada salah satu sisinya. Tentu saja kita mengadakan perbincangan dengan kampus ini, yang kebetulan sedang libur. Jadi mahasiswanya tidak terlalu banyak berada di kampus. Dari sana menuju Jeonju. 

Kota kecil dengan tradisi budaya yang terawat. Memakan makanan khas yang terdiri dari telur mentah sayur dan daging sapi bibimbap katanya. Disini ketemu Woosuk University. Melihat bagaimana seriusnya Korea menyiapkan generasi mudanya. Bagaimana kebiasaan belajar yang dibiasakan sejak dini. Di Busan ada masjid, ada makanan-makanan dari negara Afrika, Arab, Turki dan sebagainya. Konon orang Afrika jarang disini. Konon mereka tidak suka yang hitam (agak rasis memang), tapi ini adalah omongan di jalanan. 

Makanya. Jangan lihat gemerlapnya drama korea. Atau musiknya. Tapi lihatlah bagaimana proses mereka meraihnya. Itu yang perlu dipelajari. Janganlah kita hanya terkesima dengan budaya Korea, tetapi kita harus bisa mengambil hikmah terbaik dari yang sudah terjadi. Peribahasa mengatakan yang intinya adalah proses tidak akan mengingkari hasil. Barang siapa yang berusaha keras, makan hasil yang baik akan mengikutinya. Walaupun kita jangan melupakan faktor Tuhan. 

Sekamar dengan pimpinan juga menjadi pengalaman berbeda. Bagaimana seseorang menjadi pemimpin, bisa kita pelajari dari cara hidupnya. Melebihi rata-rata. Kalau kita hidup rata-rata, maka kita menjadi orang yang biasa-biasa saja. Seorang pemimpin harus memiliki stamina yang lebih tinggi, ambisi yang lebih tinggi, dan juga popularitas yang berbeda. Semuanya harus lebih daripada yang lain. Itulah pelajaran dari sekamar dengan pimpinan :). Pemimpin itu elang, memiliki jalan yang berbeda dengan bebek. Bebek ada di kawanan, nyaman dengan kondisinya. Elang itu sendiri, lebih tinggi, lebih visioner, dan ia sendirian. Nyaman dengan kesendiriannya. 

Sebelumnya kita juga mengunjungi DongA University. Disana ada mahasiswa Indonesia 1 orang yang bertahan. Hidup dengan mengandalkan beasiswa dan juga subsidi orangtua. Untuk bertahan, bekerja. Bekerja di sana memang cukup menjanjikan. Puluhan juta rupiah bisa masuk kantong dalam sebulan. Korea jadi destinasi TKI yang menarik. Masuk kesana harus menujukkan SPT (Bukti Pajak). Konon katanya karena pernah ada serombongan warga Indonesia masuk ke Korea, lalu tiba-tiba menghilang. Tidak terdeteksi. Mungkin menjadi TKI ilegal di gunung-gunung terpencil. 

Korea terkenal dengan ginsengnya. Terbaik katanya. Dibandingkan dengan dari Amerika Serikat ataupun Cina. Namun harganya lumayan mahal. Tanaman ini dipanen enam tahun sekali. Ditanam di daerah yang sedikit terkena sinar matahari. Di tebing-tebing. Sentuhan teknologi mungkin akan mengubah atau tanpa teknologi untuk tradisi ginseng ini. Masih bisa diperdebatkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun