Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Beijing yang Aku Kenal

26 Desember 2017   17:55 Diperbarui: 26 Desember 2017   19:10 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhamdulillah memperoleh kesempatan (lagi) untuk menginjakkan kaki di Beijing tanggal 5 Desember kemarin. Suatu tugas dari tempat kerja membangunkanku jam 3 pagi hari itu untuk bersiap ke Terminal 3 CGK dengan menaiki Damri dari Terminal di timur kota Jakarta. Seperti biasa minta diantarkan oleh bang Anto ke sana dengan motornya. Perjalanan kali ini untuk menemani bos yang mengikuti acara terkait pertemuan forum dalam kaitannya dengan BRI (Belt Road Initiatives).  Program ini dilaksanakan oleh Beijing dan merambah ke berbagai sektor, dengan tujuan untuk kepentingan yang diharapkan saling menguntungkan Cina dan juga negara yang terlewati oleh "Jalur Sutra Baru".

Tempat kerja memiliki kerjasama dengan Beijing University of Chemical Technology, sehingga terpilih dan diundang untuk mengikuti acara ini. Dengan Xiamen Airlines singgah di Fuzhou, akhirnya kami mendarat di Beijing sore harinya. Bertemu dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang ada disana dan makan malam bersama mereka. Mereka adalah para penerima beasiswa CSC (China Scholarships Council) untuk program doktoral dan master. Mereka yang diundang ke acara ini adalah kalangan kampus yang menjadi mitra BUCT, kampus di sekitar Beijing, kalangan industri, dan organisasi riset dan pemerintahan dari beberapa negara. Bahkan Aramco menjadi salah satu sponsor yang logonya terpasang pada backdrop acara ini.

Beijing tidak begitu tereksplor di hari-hari pertama, karena sibuk dengan acara konferens. Pada saat waktu lebih luang, bisalah kita berjalan ngopi bareng ke sebuah cafe. Melihat dari dekat sepeda sewaan yang 1 yuan per jam. Disewa dengan scan barcode-nya dengan medsos Wechat (disini disebut weixin). Wechat-nya Ma Huateng ternyata sudah mewabah kemana-mana. Selain untuk sewa sepeda umum, juga digunakan untuk pesan taksi online, baik yang taksi argo yang register ke wechat maupun taksi online "asli". Bahkan ketika mau ngopi di bandara kota Fuzhou, vending machine-nya tidak menyediakan alat pembayaran tunai, tetapi hanya dibayar oleh uang elektronik, yaitu uang wechat dan sejenisnya.

Dunia perbankan di Cina sudah berubah secara signifikan dengan semakin banyaknya uang elektronik digunakan dalam bisnis harian warga masyarakat. Ini tentu berbeda dengan negara kita. Penggunaan uang elektronik baru sebatas bayar tol, belanja di minimarket, yang menguntungkan mereka-mereka itu. Tidak meluas atau melebar ke masyarakat sehingga merevolusi dunia perbankan Indonesia. 

Artikel Pak Dahlan Iskan beberapa minggu yang lalu saya baca, ternyata sangat benar sekali. Inovasi Wechat  sulit ditandingi di Indonesia, karena kita tidak punya medsos yang asli "pribumi". Teman-teman mahasiswa Indonesia di sini bercerita bagaimana mereka bisa membeli tiket, membeli henpon dengan wechat. Bahkan dengan adanya wechat mereka jadi bisa mengontrol keuangannya. Pada aplikasi ini ada laporan pengeluaran.

Mengharapkan Indonesia beralih ke uang elektronik, "secepat di Cina", rasanya mustahil. Namun itu bukan hal yang mustahal jika para muda penggiat perekonomian dijital mendorongnya terus menerus. Alibaba, Tencent, dan UMKM yang terus bertumbuh di Cina memang membuat kita "iri". Tetapi untuk meniru sepertinya agak susah karena tidak "ceteris paribus" hahaha.... (inget pelajaran level sarjana dulu...).

Beijing di bulan Desember 2017 lumayan dingin, cuaca cerah bermatahari saat kami disana. Hanya saja cuaca musim dingin begitu dingin bagi warga negara tropis di lintas katulistiwa. Suatu saat keluar ruangan setelah ngopi, tanpa terasa darah "mimisan" keluar dari hidung saya. Kulit mengering, dan terus menerus merasa lapar. Sehingga ketika menimbang bobot mencapai angka tujuh puluh kilo.

Beijing di awal Desember sedang berbenah. Beberapa pohon dipinggir jalan di potong rantingnya, akarnya, serta dibungkus. Lalu di bawa ke tempat penampungan untuk diurus. Saat musim dingin selesai, pohon itu akan dikembalikan ke tempat asalnya, di pinggir jalan raya, menunggu waktu untuk tumbuh daun dan berbunga. Beberapa pohon-pohon kecil di dalam kampus juga di pangkas dahan-dahannya. Karena masih kecil, pohon itu cukup di bungkus oleh tampar organik, mungkin kalau di Indonesia memakai ijuk.

Lalu lintas di kota Beijing cukup ramai, ada sedikit macet di jalan-jalan yang lebar ini. Tetapi transportasi umum dengan kereta bawah tanah/subway lebih menjadi pilihan. Konon saat rush hour, kata teman-teman, suasananya lebih parah daripada KRL Jabodetabek. Lebih padat. Ukurannya walaupun sudah penuh banyak orang yang memaksakan masuk ke dalam subway. Waduh...

Universitas yang mengundang kami, memiliki usaha yang keras untuk maju. Diantaranya dengan menggandeng mitra dari 16 negara untuk datang. Mereka juga memiliki mitra dari kalangan industri sebagai tempat internship bagi para mahasiswanya. Bahkan rekan yang ada di International Office-nya tergopoh-gopoh menjamu kami, karena sedang mempersiapkan perjalanan 8 hari menuju 2 negara; Kazakstan dan Rusia. 

Sesuatu yang berbeda dengan perguruan tinggi di negara kita. Dimana kita memiliki terlalu banyak perguruan tinggi, dengan kualitas yang beragam. Link and match dengan industri belum membudaya. Walaupun ada, belum signifikan. Dana pendidikan 20 % hanya isapan jempol belaka. Karena pada prakteknya tidak masuk ke pendidikan dalam artian lembaga dan praktik kependidikan.  Ketika sudah memperoleh akreditas dalam negeri, semestinya mulai mengejar akreditasi internasional. Dengan menanamkan saham di sumber daya manusia perguruan tinggi.

Beijinger berbeda dengan orang Wuhan yang pernah aku kenal. Disini bahasa -- nya lebih mudah dipahami, karena ini adalah dialek formal Mandarin se negara. Huruf R terdengar dimana-mana. Di Wuhan l lebih banyak dipakai hahaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun