Kemarin disela-sela mengerjakan pekerjaan rumah di hari minggu, saya mendengar berita di teve swasta tentang penyiapan pembongkaran “Kalijodo”. Lokasi yang tenar pada Februari 2016 dan menghiasi berbagai media massa. Memenuhi pikiran kita, karena dibombardir dari berbagai arah. Nonton teve ada, di radio ada, buka situs juga eksis, media sosial juga tenar.
Daeng Azis di tahan. Pendemo berkurang. Peminat yang pindah ke rumah susun bertambah. Namun ada yang menarik. Posko yang disediakan oleh pemerintah untuk menampung para PSK yang hendak pindah profesi kekurangan peminat. Bahkan tidak ada seorangpun pendaftar. Demikian menurut berita tersebut.
Dari berita tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan terhadap para PSK adalah pendekatan top down. Mana ada orang yang mau mendaftar. Mereka merasa malu untuk tampil di depan publik dengan kemungkinan akan diekspos/publikasi di media massa. Para ilmuwan sosial akan tertawa terbahak-bahak melihat pendekatan ini. Apalagi para pegiat/ aktifis lembaga swadaya masyarakat. Niat untuk merubah atau memperbaiki harkat derajat kemanusiaan tidak tercapai seluruhnya. Lokasinya berubah menjadi ruang terbuka hijau, komunitasnya dipindah ke Rumah Susun, namun bintangnya atau objek utama lokasi ini tidak terlihat penyadaran/penginsyafannya. Konon hal ini akan menjadi fenomena gunung es bagi Jakarta dan sekitarnya. Mereka akan berpindah ke lokasi lain, dan sedikit dari mereka akan alih profesi.
Kebijakan yang mendadak tidak ditunjang oleh kajian sosiologis yang mendalam. Tapi kalau memang merupakan kemauan pemerintah maka akan baik-baik saja di depan media massa. Walikota bisa memberikan dukungan, demikian pula dengan aparat lainnya. Walaupun kalau kita selidiki secara mendalam keberadaan lokalisasi di tanah milik pemerintah puluhan tahun tanpa ada protes yang nyata, maka itu menjadi preseden tertentu. Kehidupan kota besar yang kompleks menjadikan kondisi Kalijodo sebagai komoditas bagi konsumen tertentu.
Sebagai orang tua, membesarkan anak di Jakarta memang harus was-was. Karena kondisi Jakarta yang metropolitan membawa berbagai pengaruh yang berwarna-warni. Lokalisasi Kalijodo sudah dihapus dari peta, tetapi lokasi lain masih ada di berbagai titik. Jalur rel kereta api, jalur Jalan Raya antar Provinsi, dan yang lainnya. Demikian pula sebagai pendidik di lembaga pendidikan. Kita tidak bisa menjamin atau menggaransi bahwa mereka akan baik-baik saja. Di luar gerbang lembaga pendidikan kita, pengaruh diri pendidik akan menyusut. Bagi para pelaju yang menghindari macet malam.
Menyusuri sisi-sisi Jakarta jam 9 malam ke atas, maka akan menemukan para penjaja hiburan sesaat. Bahkan keduanya bisa berjalan bersamaan. Di samping sebuah masjid raya yang agung, terdapat sebuah lokasi bagi bisnis penjaja kenikmatan sesat diselingi oleh permainan judi. Sementara di pinggir-pinggirannya terdapat penjual jamu. Penjual jamu ini unik, karena lampunya dimatikan, ataupun kalau ada lampunya sangat minimalis. Pemerintah menyatakan perang terhadap NARKOBA dan MIRAS. Namun mereka menafikan peranan MIRAS tradisional yang juga memabukkan. Kedekatan antara MIRAS tradisional dengan tradisi mencampur berbagai jenis bahan untuk minuman keras OPLOSAN sebenarnya dekat. Hal ini yang terlihat dari banyaknya korban OPLOSAN di berbagai daerah. MIRAS dan Seks berdekatan. Seperti NARKOBA dengan ROKOK. Gateway ke narkoba adalah perilaku MEROKOK.
Jadi congratzz terhadap pembumihangusan Kalijodo. Lets pray untuk Jakarta yang lebih baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H