Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Robohnya Pesantren Kami

9 Agustus 2012   23:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesantren kami telah roboh

bangunannya masih utuh

namun jiwa-jiwanya telah melepuh

tergerus oleh jaman dan kepandiran penerus

ajaran agama ditafsirkan sesuai keinginan nafsu belaka

menindas saudara demi kelobaan ketamakan duniawi

Pesantren kami telah runtuh

sedikit demi sedikit menjauh

dari hakikat kejatidiriannya

karena nafsu serakah

yang menceraiberaikan persaudaraan para penerus

ilmu agama kami miliki cukup dalam

namun kami jadikan alat untuk membodohi umat yang taklid

Pesantren kami adalah pesantren sederhana

yang dikelola dengan manajemen nrimo

tak pernah berusaha mencari santri

hanya ada masjid dan kobong tempat santri menginap

siapa hendak menyantri silahkan datang

tidak ada seleksi juga kenaikan kelas

juga tidak ada jadwal kelas yang jelas

berjalan searah angin

ketika pembangunan merambah desa, semua orang ingin sekolah

pesantren kami pun ditinggalkan

karena tak memberi ijasah

Saat kyai pesantren kami wafat

anak menantu bertengkar memperebutkan

pepesan kosong

anak dan menantu bertengkar

cucu cucu ikut berdebat

cicit-cicit saling bermusuhan

santri-santri alumni melihat dengan cemas dari jauh

maka robohlah kepercayaan masyarakat

robohlah pesantren kami

robohlah tembok amanah itu

karena nafsu serakah dan jiwa yang kerdil

karena pengelolaan yang tanpa arah

karena terbujuk nafsu dunia

karena kami… tidak mampu memegang amanah

Kami berkumpul di hari lebaran

Di depan pusara pendiri pesantren

berdoa bersama, bersalaman, lalu pulang dengan membawa ego masing-masing

kami bersaudara, namun tidak bersaudara

kami saling tersenyum, namun hati saling membenci

Tuhan, ampuni kami

robohnya pesantren kami, jangan sampai merobohkan keimanan hakiki kami, mencerai-beraikan persaudaraan kami…

(Wuchang, 8 Agustus 2012 pukul 07.15 Waktu Beijing)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun