Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rejeki yang Terukur

12 Februari 2015   23:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bekerja di swasta memang serba terukur. Kalau rejekinya tidak bisa diukur orang lain, jadilah wirausahawan. Demikian jargon motivator yang sering sekali kita dengar. Kalau kita kerja  swasta, dengan ukuran gaji yang bisa diperkirakan, maka kekayaan kita bisa diukur oleh orang lain. Karena begitulah hitung-hitungan rejeki, terutama milik orang lain, adalah hal yang menarik hehehe...! Hari ini seorang teman berbisik heran... berapa sih gaji karyawan anu... kok ke tempat kerja bawa mobil? dan seterusnya dan seterusnya ... Intinya ia mendorong adanya reformasi keuangan agar gaji bisa bertambah.

Tentu saja saya membantah omongan tersebut, karena saya yakin rejeki itu tidak bisa diukur secara matematika semata. Bisa jadi ia dapat warisan, istri/suaminya juga bekerja, punya bisnis sampingan, dan sebagainya dan sebagainya. Karena rejeki seseorang ternyata tidak berkorelasi dengan besarnya gaji bulanan yang ia miliki. Yang perlu dilakukan adalah bekerja dengan baik, dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. kedua-duanya dilakukan untuk meraih rejeki. Karena setiap makhluk di bumi ini sudah memiliki rejeki masing-masing yang telah ditentukan. Tentu saja mencari rejeki itu harus bersungguh-sungguh, dan tidak malas-malasan.

Dinamika organisasi bisa mendorong kemajuan yang lebih progresif. Jangan main-main dengan kualitas, serta budaya kerja keras dibangun dengan persisten. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari negara tetangga, raksasa Asia, yang ternyata pergerakan kemajuannya lebih lambat (sebetulnya) daripada Indonesia. Kita bergerak maju sejak masa Soeharto, mereka baru membuka diri pada masa Deng Xiaoping. Tapi lihatlah tahun sekarang. Mereka sudah memiliki kereta bawah tanah di provinsi kelas menengah, sedangkan di Ibukota Indonesia, hal itu baru akan terwujud beberapa tahun ke depan. Organisasi yang membuka diri terhadap kemajuan, meskipun masih dalam koridor pengawasan Pemerintah, bisa memicu kemajuan yang lebih cepat.

Kita, yang memiliki lebih banyak swasta daripada lembaga negeri, tentunya memiliki peluang maju lebih banyak. Asal tidak main-main dengan kualitas, serta memperkuat etos kerja. Dari situ profesionalisme akan dibangun. Jangan memberikan kesempatan kepada status quo, serta menguatkan kemajuan demi kemajuan. Jangan terjebak dengan rutinitas, serta berusaha terus menerus membawa perubahan dan kemajuan bagi organisasi. Sinergi, konsolidasi, serta filosofinya harus seimbang, menuju Indonesia yang membanggakan. It is not merely just politic, because we could be hopeless with politicians. The next power is at the alternative media to keep positive. To make many good news from Indonesia from us... civil society of next Indonesian generation.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun