Mohon tunggu...
NINE ADIEN MAULANA
NINE ADIEN MAULANA Mohon Tunggu... -

Tinggal di Jombang, Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Nilai Bahasa Indonesia selalu Terendah?

29 Mei 2013   13:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:51 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hasil Ujian Nasional (UN) jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat telah diumumkan pada 24 Mei 2013. Di antara mata pelajaran yang diujikan itu nilai hasil Ujian Nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia menempati peringkat terendah dibandingkan mata pelajaran lainnya. Lebih dari itu, nilai Bahasa Indonesia yang diperoleh oleh siswa jurusan Bahasa SMA ternyata lebih rendah daripada yang diperoleh siswa jurusan IPA dan IPS. (Republika, 24/5/2013)

Sungguh ini adalah sesuatu yang ironi. Siswa jurusan Bahasa tentu mendapatkan porsi jam belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada jurusan lainnya. Dengan durasi belajar yang lebih banyak semestinya tingkat kompetensi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan yang berdurasi belajar lebih sedikit. Fakta berkata lain. Banyak diantara mereka yang malah tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Mahsun, Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, menyebutkan bahwa hasil UN tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan tahun 2012. Berdasar hasil UN tahun 2012 ada 25 % siswa jurusan Bahasa yang tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pada jurusan IPA ada sekitar 12 % dan jurusan IPS ada sekitar 19% yang tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. (Republika, 24/5/2013)

Kenyataan ini harus menjadi bahan renungan dan evaluasi khususnya bagi guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bagaimana bisa terjadi, ini adalah bahasa resmi nasional kita. Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa ini digunakan sebagai bahasa pengantar komunikasi. Namun, setelah diujikan secara nasional ternyata, hasilnya paling rendah dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Pasti ada masalah atau hal yang tidak tepat. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif untuk dicarikan solusinya secara tepat. Jika tidak, maka keterpurukan ini akan terus berlangsung.

Bila kita membedah kandungan materi matapelajaran Bahasa Indonesia di SMA atau yang sederajat, kita mengetahui bahwa ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup dua komponen kemampuan, yaitu: 1) berbahasa dan 2) kemampuan bersastra. Dua komponen kemampuan tersebut kemudian diklasifikasi menjadi empat aspek pokok, yaitu: 1) Mendengarkan, 2) Berbicara, 3) Membaca, dan 4) Menulis.

Diantara empat aspek pokok tersebut, membaca dan menulis adalah aspek yang selama ini dianggap sulit. Jatuhnya nilai matapelajaran ini jika dicermati, sebagian besar terdapat aspek membaca dan menulis. Keduanya memang saling terkait. Membaca ibarat mengisi pengetahuan dalam akal, sedangkan menulis laksana mereproduksi pengetahuan baru. Inilah pilar utama peradaban moderen.

Sayangnya budaya kita masih didominasi oleh budaya lisan bukan tulisan. Orang lebih suka mendengarkan dan berbicara daripada membaca dan menulis. Banyak orang tidak lagi sabar dan telaten membaca dan menulis. Memang, membaca dan menulis merupakan kegiatan yang lebih aktif dan produktif daripada mendengar dan berbicara. Konsekwensinya, energi yang dibutuhkan untuk membaca dan menulis lebih besar daripada mendengarkan dan berbicara. Mungkin inilah yang kemudian memicu kemalasan sebagian besar masyarakat kita termasuk yang berada dalam lingkungan pendidikan untuk melakukannya.

Di saat membaca dan menulis belum membudaya secara massif, kita telah berada dalam era kemajuan teknologi informatika yang semakin memanjakan manusia dalam mengakses segala informasi secara instan. Mereka sekarang lebih betah duduk di depan monitor daripada membaca atau menulis. Apakah yang mereka lakukan itu bisa dipadankan dengan membaca atau menulis? Pasti tidak! Karena yang mereka lakukan selama ini hanyalah jelajah berbagai situs (browsing) yang lebih didominasi semangat rekreatif daripada edukatif. Buktinya, Indonesia tercatat sebagai salah satu pengguna situs jejaring sosial yang terbanyak di dunia.

Dominasi browsing rekratif semacam ini lambat laun akhirnya membentuk budaya instan dalam masyarakat, termasuk berimbas kepada para peserta didik. Mereka menjadi pribadi yang tidak sabar dan telaten dalam segala hal, temasuk dalam membaca dan menulis. Berbagai situs mesin pencari data, misal google dan yahoo kini telah menjadi menggantikan buku atau kitab-kitab referensi primer, karena lebih cepat memberikan informasi.

Membaca menjadi aktifitas yang sangat menjemukan. Menulis menjadi aktifitas yang amat menyiksa, karena ketidakmampuan mengemukakan gagasan secara tertulis. Padahal, pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Dengan mental instan seperti itu agaknya, amat sulit menemukan peserta didik yang telah mencapai tututan minimal dalam membaca buku sastra dan nonsastra tersebut.

Dominasi budaya instans yang disokong oleh kemajuan teknologi informatika semakin membuat peserta didik tidak bergairah mempelajari aspek membaca dan menulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mengapa? karena materi kajiannya berisi penggalan wacana dari buku-buku sastra dan non sastra yang belum pernah dibacanya hingga tuntas dan kaidah-kaidah penulisan yang tidak pernah diterapkan dalam suatu karya tulis.

Mereka bisa menjawab bahwa karya sastra ini berisi tentang ini dan ini, padahal mereka tidak pernah melihatnya, apalagi membacanya hingga tamat. Dari mana mereka mengetahuinya? Jawabnya adalah dari rangkuman yang ada di buku paket atau dari catatan yang dibuatkan oleh guru.

Mereka bisa menjelaskan penggunaan tata bahasa yang benar, menyebutkan macam-macam paragraf dan sistematika penulisan karya tulis ilmiah, namun mereka tidak mampu menuliskan gagasan sendiri walaupun hanya satu paragraf. Mengapa hal ini terjadi? Karena yang mereka pelajari selama ini adalah teori tata bahasa tulis, bukan belajar menuliskan gagasan.

Dengan kondisi semacam ini, mereka kemudian berhadapan dengan soal-soal UN yang dipenuhi dengan narasi atau tabel yang panjang dan beragam. Memang seperti itulah gaya atau model soal-soal yang diujikan. Baru melihat soal semacam itu pun mereka sudah jemu. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab dengan tepat jika narasi atau tabel tersebut diabaikan?

Mengerjakan soal dengan model seperti itu memang diperlukan teknik karena dibatasi oleh waktu. Jika tidak, waktu ujian akan banyak terbuang sia-sia. Seharusnya peserta didik mendahulukan membaca pertanyaan inti daridapa membaca narasi yang panjang-panjang itu. Dengan cara itu mereka akan mampu mengerjakan soal termudah lebih dulu, karena tidak semua soal menuntut pembacaan narasi secara keseluruhan. Ketika soal-soal yang mudah itu telah terjawab, barulah membaca narasi secara sabar dan telaten untuk menjawab pertanyaan-pernyataan yang menuntuk pembacaan narasi secara lengkap.

Terlepas dari masalah teknik pengerjaan, sebenarnya akar masalah tetap terletak pada minimnya budaya membaca dan menulis dan maraknya budaya instan dalam berbagai bidang. Jika membaca dan menulis telah membudaya, panjangnya narasi atau tabel yang disajikan dalam suatu soal ujian tidak menjadi masalah yang berarti. Orang yang telah terbiasa membaca dan menulis akan memiliki seninya sendiri yang memudahkannya mencerap makna dari apa yang dibacanya dengan cepat.

Jika kita ingin memudahkan peserta didik dalam menguasai mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka budayakanlah membaca dan menulis sejak dini. Jangan sampai peserta didik lebih dulu asyik mengakses internet sebelum terbiasa membaca dan menulis, karena akan semakin meningkatkan budaya instan dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun