Mohon tunggu...
NINE ADIEN MAULANA
NINE ADIEN MAULANA Mohon Tunggu... -

Tinggal di Jombang, Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lho, Kok Mohon Maaf Lahir Batin?

22 Agustus 2013   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap diadakan kegiatan Halal Bi Halal di sekolah saya, hampir semua pesertanya, baik dari siswa maupun guru, saling berjabat tangan sambil mengucapkan, “Pak/Bu, minal ‘āidīn wal fāizīn. Mohon maaf lahir batin.” Mereka yang diberi ucapan ini pun membalasnya, ”Ya sama-sama, saya juga mohon maaf lahir batin.”

Saya menyimpulkan, selama ini ungkapan minal ‘āidīn wal fāizīn dianggap bermakna mohon maaf lahir batin. Orang yang mengerti bahasa Arab, walaupun hanya sedikit, pasti akan mengatakan bahwa ini adalah tidak tepat.

Hal ini dapat dianalogikan dengan anak TK atau SD yang baru saja belajar bahasa Inggris. Tanyalah mereka tentang bahasa Inggris “keset”(alat yang difungsikan untuk membersihkan kotoran pada alas kaki). Pasti mayoritas mereka menjawab, “Welcome!”. Bagi orang yang telah memahami bahasa Inggris, tentu hal ini adalah sesuatu yang menggelikan, karena arti welcome adalah selamat datang.

Inilah yang dinamakan salah kaprah. Ibarat Joko Sembung naik becak. Gak nyambung, Cak! Salah tapi dilakukan terus-menerus oleh banyak orang, sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Bagaimanakah yang seharusnya? Ada tradisi di kalangan sahabat Nabi, yakni mengucapkan selamat (tahni’ah) kepada sesama umat Islam yang telah berhasil menyelesaikan puasa Ramadan. Bacaan selamatnya adalah “taqabbalallāhu minnā wa minkum”, namun ada pula yang menambahnya “taqabbal yaa kariim, wa ja’alanāllāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn”. Ada pula yang masih menambahnya “wal maqbūlīn kullu ‘ammin wa antum bi khair”.

Jika ucapan selamat itu dirangkai memang menjadi sangat panjang, “taqabbalallāhu minnā wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanāllāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn wal maqbūlīn kullu ‘ammin wa antum bi khair” Artinya adalah “semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantia dalam kebaikan.”

Dari ucapan selamat yang panjang inilah, kita bisa lacak asal-usul ucapan minal minal ‘āidīn wal fāizīn yang artinya termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Dari sini pula kita sudah tahu bahwa minal ‘āidīn wal fāizīn tidak ada sangkut pautnya dengan mohon maaf lahir batin.

Sayangnya, ucapan selamat yang panjang itu dan juga bermakna do’a itu mengalami penyusutan atau sengaja diringkas. Terlebih, ringkasannya juga kurang pas. Secara sederhana, kita tahu bahwa minal ‘āidīn wal fāizīn bukanlah kalimat yang sempurna (al-jumlah al-mufīdah). Pasti mucul di benak kita lho kok tiba-tiba muncul “termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang (minal ‘āidīn wal fāizīn). Pasti ia tidak berdiri sendiri. Bacaan ini pasti terikat atau berhubungan dengan bacaan sebelumnya.

Dengan agak sedikit ‘memaksa’ kita sebenarnya bisa berdalih bahwa bacaan itu bermakna do’a, sehingga boleh diucapkan dengan ungkapan singkat atau ada sesuatu yang disembunyikan (maħdhūf), namun untuk menterjemahkannya kita perlu memunculkan makna yang disembunyikan bacaannya itu, agar mudah dipahami. Dengan alasan ini kita bisa menterjemahkannya, “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang”.

Kalau kita meniru apa yang dilakukan sahabat Nabi, sebenarnya yang paling tepat kita ucapkan adalah bacaan selamat panjang itu. Kalaupun itu telalu panjang, kita bisa menyingkatnya dengan bacaan yang paling populer di kalangan mereka, yaitu “taqabbalallāhu minnā wa minkum”, bukanlah mengucapkan minal ‘āidīn wal fāizīn. Alasannya, selain populer, ia adalah bacaan yang telah sempurna kalimatnya, sehingga langsung bisa dipahami.

Saya menduga bacaan minal ‘āidīn wal fāizīn tidak populer, untuk tidak mengatakan tidak pernah ada, di kalangan sahabat Nabi. Hal ini bisa kita lacak pada kitab Fathul Bari karya Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau mengatakan dalam kitabnya itu, “Telah sampai kepada kami riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubai bin Nufair, ia berkata: “Jika para sahabat Rasulullah saling bertemu di hari raya, sebagiannya mengucapkan kepada sebagian lainnya: “taqabbalallāhu minnā wa minkum”. (Fathul Bari [II] 446)

Bagaimana fakta di Indonesia? Ternyata yang populer adalah minal ‘āidīn wal fāizīn. Inilah uniknya orang Islam Indonesia. Mereka tidak menerima tradisi pengucapan salam ini apa adanya. Mereka malah mengkreasi tradisi baru ala Indonesia, walaupun kemudian menjadi salah kaprah, yaitu ucapan minal ‘āidīn wal fāizīn dan dikira bermakna mohon maaf lahir batin. Selain itu mereka juga mengkreasi tradisi Halal Bi Halal yang seolah-olah berbahasa Arab, tapi tidak pernah dijumpai dalam idiom Arab.

Inilah masalah budaya. Selama ia mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at, marilah bersikap moderat. Sikap moderat ternyata juga ditampilkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat ditanya tentang ucapan selamat di hari raya. Beliau menjawab, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat ‘Id dengan ungkapan: taqabbalallāhu minnā wa minkum dan a’ādahullāhu ‘alaika serta ucapan sejenisnya, maka hal ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka melakukannya, dan telah diperbolehkan oleh para imam seperti Imam Ahmad, dan lain lain. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.” (Majmuu’ Fatawa (XXIV/253)

Meskipun saya lebih sependapat dengan ucapan taqabbalallāhu minnā wa minkum daripada minal ‘āidīn wal fāizīn, namun saya tidak bisa memaksakan kecenderungan saya ini kepada siapa pun, karena memang ini adalah masalah budaya. Dilakukan boleh tidak dilakukan pun juga boleh. Namun, jika anda yang lebih suka dengan minal ‘āidīn wal fāizīn, kemudian mengartikannya engan mohon maaf lahir batin, maka pasti saya tidak setuju. Ini jelas salah. Kalau tidak dibetulkan akan menjadi kaprah. Oleh karena itu saya harus memaksa anda untuk tidak mengartikan demikian.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun