Mohon tunggu...
Aat Suwanto
Aat Suwanto Mohon Tunggu... Administrasi - hirup mah ngan saukur heuheuy jeung deudeuh

Tukang main, sesekali belajar menjadi pemerhati dan peneliti serta penulis (dengan 'p' kecil) di bidang Pariwisata, selain juga menulis essai di bidang humaniora, serta menulis cerpen dan novel terutama dalam bahasa daerah Sunda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembangunan Geopark dalam Kacamata Pariwisata

21 November 2018   17:12 Diperbarui: 21 November 2018   17:19 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sementara di kita, pembangunan geopark berada dalam naungan langsung Kementerian ESDM pada jaman Pemerintahan SBY, dan kini bahkan dinaungi langsung oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman. Hal yang agak ganjil justru yang terjadi di pemerintahan daerah, dimana kebijakan pembangunan geopark justru berada di bawah koordinasi dinas pariwisata.

Dihadirkannya industri pariwisata dalam pembangunan geopark, tampaknya terkait erat dengan strategi dalam melaksanakan visi pertama dan kedua tadi. Lebih jauh, bahkan demi terwujudnya visi yang ketiga yang merupakan inti dari pembangunan sebuah geopark, yakni konservasi atau perlindungan terhadap segenap warisan kekayaan geologi yang ada dari bencana kerusakan. Tujuannya, agar kekayaan dimaksud dapat lestari dan secara berkelanjutan diwariskan dan dinikmati secara lintas generasi.

Konservasi sendiri diyakini hanya akan berhasil oftimal apabila, disatu sisi terdapatnya pemahaman kolektif dimasyarakat terhadap kepentingan akan kekayaan bumi tadi. Industri pariwisata sendiri dinilai dapat menjadi strategi promosi dan sekaligus pendidikan yang mudah dan menyenangkan serta massif untuk memberikan pengenalan dan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang nilai-nilai kekayaan kebumian tersebut.

Disisi lain, secara khusus semestinya masyarakat lokal dapat berperan menjadi aktor utama pelindung kekayaan dimaksud apabila kebutuhan ekonominya dapat terpenuhi. Namun kenyataan, justru merekalah tertuduh utama selaku pelaku langsung bagi perusakan, bahkan tidak hanya segenap kekayaan alam melainkan juga kekayaan budayanya.

Terkait persoalan ini pun, industri pariwisata dinilai dapat menjadi cara yang sangat efisien serta efektif dalam mencegah prilaku merusak dari masyarakat lokal terhadap alam dan budayanya. Industri pariwisata yang terbangun di geopark bahkan dapat menjadikan mereka selaku polisi pelindung dari segala rupa kekayaan hayati tadi mengingat keberlangsungan industri pariwisata di geopark hanya akan terjadi ketika aneka kekayaan yang menjadi daya tarik dapat terlestarikan. Tinggal pertanyaannya, sejauhmana tingkat ketergantungan masyarakat lokal tadi dengan industri pariwisata yang dibangun di lingkungannya.    

Demikian kedudukan strategis industri pariwisata dalam membangun sebuah geopark. Bahwa industri pariwisata benar-benar telah menjadi ujung tombak sekaligus tolok ukur jangka pendek dan sederhana dari keberhasilan pembangunan sebuah geopark. Sejauhmana industri pariwisata berhasil hadir disana, sejauh itu pula pembangunan sebuah geopark mencapai keberhasilannya.

Mengingat industri pariwisata telah menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan geopark, semestinya pembangunan geopark pun dapat memberikan ruang yang layak bagi keberlangsungan industri pariwisata. Dalam hal ini, tidak cukup kiranya kelaikan sebuah geopark selaku destinasi wisata hanya dengan batasan pemahaman terhadap 'atraksi' sebagai keindahan keanekaragaman alam dan keunikan budaya semata.

Untuk hal tersebut, jangan sampai ironi terbesar industri pariwisata Indonesia --yang konon memiliki kekayaan alam dan budaya yang melimpah, dan bahkan secara geologi dinyatakan sebagai negara cincin api dunia, namun ternyata perkembangan industri pariwisatanya masih kalah jauh dari tetangga kita yang kekayaan alam dan budayanya dianggap tak seberapa-- terus terjadi. 

Kemudahan akses pada sebuah kawasan geopark pun tidak mesti menjadi patokan murni meskipun aksesibilitas sendiri seringkali menjadi persoalan yang pelik dalam membangun sebuah destinasi wisata hingga destinasi dimaksud menjadi siap kunjung. Sebagaimana juga kelengkapan fasilitas wisata yang terbangun belum tentu menjamin kedatangan wisatawan ke sebuah destinasi. Apalagi jika sebuah geopark sekedar diukur dari terbangunnya geotrekking-geotrekking beserta fasilitas dan paket wisatanya.

Bahkan amenitas sosial --apa dan bagaimana rasa aman dan nyaman diberikan kepada wisatawan, dalam kasus industri pariwisata di negara kita seringkali justru menjadi daya tarik bagi kedatangan para wisatawan.

Maka dibutuhkan kearifan tersendiri untuk membangun sebuah destinasi wisata. Termasuk pula bilamana sebuah geopark ingin benar-benar menjadi destinasi wisata --dalam arti benar-benar diminati oleh wisatawan secara berkelanjutan. Sehingga seharusnya keterlibatan intens dari para tenaga ahli dan praktisi pariwisata yang benar-benar dapat membaca karakter sebuah geopark agar benar-benar mewujud sebagai sebuah destinasi, benar-benar dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun