Mohon tunggu...
AAT Manik
AAT Manik Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Suka menulis semampu dan semaunya.

Selanjutnya

Tutup

Raket

Nyaris KPAI "Portal" Jalan Mulus Berprestasi

23 Juli 2021   19:40 Diperbarui: 23 Juli 2021   19:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada gelaran Olimpiade, Indonesia selalu mengandalkan cabang olahraga bulutangkis, pun pada olimpiade Tokyo kali ini. Mengingat olahraga ini, saya juga pernah menulis beberapa pandangan yang kala itu tengah heboh berita tentang olahraga ini. Yakni KPAI vs PB Djarum tapi -itu tadi- tulisannya hanya tersimpan didraft penyimpanan. Memang, masalah telah usai. 

Tulisan ini kembali kucuatkan hanya sekedar mengingat-ingat bahwa dulu pernah terjadi kehebohan yang demikian. Plis jangan ada lagi. Cukup kala itu saja. Doa kami, Indonesia mampu meraup medali emas sebanyak-banyaknya di cabang olahraga kegemaran saya, badminton! 

Selamat membaca... Jangan marah-marah ya! Terimaksih Kompasiana.

-----

PEMBERITAAN tentang polemik PB Djarum vs KPAI mengakibatkan ndas ngelu. Buka sosial media, televisi dan online isinya tentang mereka semua. Mbok yao lah diselingi berita Disk Joke (DJ) vs Youtuber yang lagi ramai gitu, biar ada seger-segere. Heee   

Mencuatnya polemik ini mengingatkanku tentang olahraga bulu tangkis itu sendiri. Saya, mantan atlet bulutangkis di sekolah menengah pertama tahun 98 lampau. Sering bertanding, kadang kalah dan menang. Pernah dipermalukan ketika berlaga antar kelas, dibabat habis dengan skor telak 0-15 (perhitungan sebelum sistem rally). Malunya itu loh.. Wes ra ketulungan. Guru yang kebetulan menonton ketawa mengejek. 

Gegara kejadian itu, usai terbantai saya trauma. Hingga kini ogah ikut pertandingan meskipun cuma antar RT atau RW pas 17-an. Kapokmu kapan! Tapi kalau sekedar cari keringat masih saya ladeni, buktinya teman saya yang kemlinti sering tak babat habis, ya walaupun tidak mencolok skornya.   

Sekarang sudah jarang bermain bulutangkis, kebelet kerjaan dan punya cindel. Tapi track record masih bisa jumawa, saya masih dianggap sebagai warga yang pintar bulutangkis. Setiap kali bertemu kakak sepupu, selalu diajak bermain. Salah satu alasannya tentu saya senior ditingkat RT.   

Semenjak pemerintahan Jokowi yang jor-joran dengan program satu miliar satu desa, dampak luar biasa terjadi pada fasilitas lapangan bulutangkis yang semakin bagus saja. Dulu bermainnya di halaman depan rumah, garis lapangan memakai tali plastik dan net seadanya.   

Kini, kami yang tinggal di tanah transmigrasi dengan segala keterbatasannya, bantuan pemerintah betul-betul membantu -bukan aliran cebong-. Setiap desa membangun "Gedung Olahraganya "masing-masing. 

Memang bangunan-bangunan itu tidak semegah Gelora Bung Karno atau Old Trafford, tapi sangat menghadirkan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakatnya.   "GOR" itu multi fungsi, sebagai tempat pertemuan masyarakat bisa, tempat rapat desa sangat bisa, tempat lapangan olahraga memang salah satu tujuannya. 

Dalam gedung-gedung itu telah didesain sebagai lapangan bulutangkis dan tenis meja. Di bagian panggung -secara implisit- digunakan sebagai lapangan tenis meja, bagian rendahnya telah dibuat garis lapangan bulutangkis dan di cat.   

Setiap seminggu sekali di malam hari, anak remaja hingga bapak-bapak standby  disana. Mereka membawa raket alakadarnya, sutlecock dan sedikit lari-lari kecil. Soal dandanan tak kalah keren, bukan hendak ke ladang. Mereka sudah mengenal gaya ala-ala Kevin Sanjaya: kaos PB Djarum bercelana kolor dan bersepatu. Soal penampilan oke semua, meyakinkan.   

Bulitangkis sejatinya olahraga yang banyak digemari warga. Kami, yang hidup dan tumbuh di tanah transmigrasi daerah pelosok, menjadikan olahraga ini sebagai alternatif utama mencari keringat. Dalam pertandingan yang digelar semisal 17-an misalnya, tensinya memanas, benar-benar bergengsi.   Olahraga bulutangkis menduduki posisi pertama dalam strata olahraga di desa. 

Kejuaraan 17-an adalah puncak karier seorang pebulutangkis. Disanalah batas kejayaan seorang atlet bisa diraih.   

Kevin Sanjaya-Marcus Fernaldi Gideon menjadi pasangan ganda peringkat pertama dunia. Kami bisa melihatnya di televisi senangnya bukan kepalang. Sekarang susah lihat ditelevisi, jarang yang mau menayangkan pertandingan. Ingin melihat mereka bertanding secara live? Hanya angan-angan tak mungkin nyata. 

Bagi kami bisa bertemu mereka itu impian yang keterlaluan, apalagi anak pelosok jadi atlet nasional bulutangkis. Wow, impian yang kurang ajar.   

Kenapa begitu? Kami, warga pelosok tidak tahu caranya bagaimana bisa seperti Jonatan Chisti, Anthony S Ginting atau Ci Butet yang sudah pensiun itu. Bagaimana mereka bisa menapaki tangga hingga menjadi juara di bulutangkis. Sekencang dan sekuat apapun teknik dan fisik maupun semangat kami dalam olahraga ini, mentok Cuma di kejuaraan 17-an.  

 Dan tetiba, berita membahana sampai tembus ke pelosok negeri tentang kisruh KPAI vs PB Djarum. Kami kaget. Ternyata ada seleksi umum --salah satu jalan- menapaki tangga juara dunia. Hebatnya lagi, seleksi umum itu ternyata setiap tahun dilakukan PB Djarum.    

Mana kami tahu? Lha wong listrik saja baru bisa kami nikmati beberapa tahun ini. Setali tiga uang, internet berkapasitas 4G juga baru setahun ini ada, tapi desa-desa lainnya ya masih banyak yang 2G. Untung masih bisa telepon-teleponan.   

Kok yo ndelalah, "berkat" tak akan salah orang. Untungnya KPAI singkatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia "menampol" PB Djarum atas klaimnya mengeksploitasi anak. Sunguh kami-kami, para penggemar dan pecandu bulutangkis di pelosok kagetnya kebangetan. 

Jadi selama ini kami baru tahu ada seleksi umum. Ya Awoh, kemana saja kami.   Begitu kejamnya PB Djarum tidak memberitahu kami soal seleksi itu. Apa kami dianggap remeh soal bulutangkis? Kok segitunya kabar gembira itu tak sampai pada kami. 

Terimakasih KPAI, berkatmu kami tahu ada seleksi umum bulutangkis oleh PB Djarum, salah satu jalan menuju puncak yang lebih tinggi lagi dibanding kejuaraan 17-an. Hikk   

Sebentar-sebentar. Kok ada yang aneh ya? Kan KPAI mengklaim PB Djarum eksploitasi anak soal seleksi itu. Akhirnya tahun 2020 PB Djarum menghentikam seleksi umum.    

Watdepak??   

Woiii... Gimana ini? Masak kami warga pelosok baru tahu ada seleksi umum tetiba seleksinya tidak ada lagi tahun depan. Kan edan. Trus kami harus bagaimana? Bagaimana dengan impian anak-anak kami? Masak harus puas dipuncak karir atlet bulu tangkis kejuaraan 17-an lagi?  

 "Tenang, banyak jalan menju Roma", kata kakak sepupuku.  

 " Iya banyak, tapi salah satu jalan yang besar, beraspal, dan teratur nyaman sudah diportal sama KPAI!"   

Kan Bang the Sad!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun