Di kuliah daring yang saya ikuti di EDX dari Edinburgh University tentang Carbon Capture and Storage, ada hal yang cukup menarik bagi saya. Salah satu sesi mengkritisi tentang penggunaan sumber energi terbarukan, yang banyak digemborkan oleh organisasi-organisasi tertentu agar dijadikan sumber energi massal secara menyeluruh. Sebagai catatan, di sini saya hanya ingin berbagi sebagian yang saya dapat dari kuliah tersebut, yang saya setuju dengan hal itu karena realistis, dan ditambah beberapa hal yang saya cerna.
Penting untuk dikatakan, sumber daya terbarukan merupakan solusi dari isu pemanasan global yang dihadapi manusia saat ini. Ketika Paris Agreement disahkan, saat itu merupakan titik dimana lebih dari seratus negara bekerja sama untuk mencegah kenaikan suhu bumi sebesar 2 derajat celcius.Â
Setelah resmi, saat inilah seluruh dunia mengupayakan agar target itu berhasil dengan salah satu caranya mengkampanyekan teknologi-teknologi ramah lingkungan dan terbarukan. Tenaga angin dan surya mendapat kenaikan pamor, dan digadang-gadang untuk menjadi sumber energi bebas karbon yang aman dan selalu ada. Nuklir tidak dipilih karena resikonya yang terlalu membahayakan, meskipun keterbaruan yang ditawarkan sangatlah menggiurkan.
Lalu apa yang menjadi kendala penggunaan tenaga surya dan angin? Bisakah dua sumber ini dijadikan sumber utama suatu negara? Meskipun dalam sebulan-setahun pasti ada angin dan tenaga surya, kendala terbesar pertama adalah penyimpanan energi yang dihasilkan. Diperlukan kapasitor super besar untuk menyimpan listrik ketika angin/surya berintesitas tinggi dan mendistribusikannya ketika intensitas rendah. Kendala kedua adalah efisiensi rendah baik dari panel surya ataupun kincir angin.Â
Karena efisiensi rendah, akan perlu ladang yang besar untuk memanen listrik dalam jumlah yang mencukupi, sehingga penggunaan kapasitor beserta kabel pendistribusinya akan memerlukan banyak biaya. Kendala lain adalah, apa yang bisa dilakukan jika terjadi anomali cuaca anticyclonic dimana mendung tanpa angin terjadi selama berminggu-minggu. Hal seperti ini harus dipertimbangkan, karena tidak mungkin membiarkan mati lampu massal selama sehari, bahkan seminggu lebih.
Selain meningkatkan penggunaan energi surya dan angin demi menurunkan emisi karbon, pertanyaan yang tidak kalah penting adalah perlukah mengurangi penggunaan batu bara dan gas untuk pembangkit listrik? Perlukah kita menghentikan pembangunan PLTU dan PLTG?Â
Hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah kelayakan secara etis keputusan itu diambil sementara masih banyak pelosok negara berkembang (yang kebetulan di Indonesia juga) masih byar-pet atau belum ada listrik sama sekali. Peran vital PLTU saat ini nampaknya masih belum mampu digantikan oleh sumber daya angin ataupun surya, yang sifatnya masih sebatas komplementer saja.
Meskipun begitu, marilah kita tetap tidak menutup mata terhadap masalah pemanasan global. Energi terbarukan tetap merupakan hal yang sangat layak dikembangkan agar biaya produksi dan operasional semakin menurun, sehingga semakin feasibel. Target penurunan emisi karbon dapat dikejar dengan menyaring, lalu mendaur ulang emisi CO2 untuk dimanfaatkan di bidang pertambangan, pertanian, atau produksi biofuel, dilengkapi dengan teknik pengolahan emisi udara lainnya.Â
Fokus dari target Paris Agreement adalah pembatasan emisi karbon, bukan stop penggunaan teknologi tertentu. Untuk sekarang, banyak teknologi yang masih kita tunggu perkembangannya agar bias menjadikan lingkungan milik bersama ini lebih baik. Mari berharap semoga saja perkembangannya terjadi berawal dari anak muda Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H