Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Tanpa Judul - Chapter 3

12 Mei 2024   17:36 Diperbarui: 12 Mei 2024   18:14 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Delapan belas bulan silam

Akhirnya hari ini tiba juga. Aku telah menunggu hari ini sejak beberapa waktu lalu. Seminar kepenulisan yang dibawakan oleh beberapa penulis favoritku, yakni Boy Candra, Tere Liye, dan juga J.S. Khairen, akan segera kunikmati. Merekalah yang selalu kujadikan anutan sebagai motivasi untuk terus menjadi penulis hebat hingga saat ini.

Bruk! Tiba-tiba aku tak sengaja menabrak seorang gadis yang sedang melihat beberapa buku yang dipajang pada seminar kali ini.

"Maaf, nggak sengaja," kataku mencoba menolongnya.

"Iya, aku juga minta maaf karena terlalu asyik sampai nggak lihat-lihat sekitarnya," tuturnya tersenyum.

Kuamati wajahnya sekilas gadis itu. Sebagai lelaki dapat kukatakan bahwa gadis itu sangatlah cantik. Bola matanya yang indah juga bisa menjadi daya tariknya untuk ditaksir seorang lelaki. Selain itu, senyum manisnya juga menambah pesona dirinya sebagai seorang perempuan.

Tak lama kemudian, seminar kepenulisan pun dimulai. Aku berhasil mendapatkan kursi paling depan sehingga dapat melihat para pengisi acaranya dengan jelas. Beberapa saat kemudian, gadis yang kutemui di depan tadi, duduk di sebelahku.

"Kamu duduk di kursi ini?" tanyaku sambil menunjuk kursi di sebelahku.

"Iya, ini kursiku. Permisi," katanya lembut.

"Silakan," ucapku singkat.

Gadis itu duduk tepat di sebelahku. Kemudian ia keluarkan buku catatan dan juga novel-novel milik Boy Candra. Katanya, koleksi karya-karya milik Boy Candra hampir lengkap, sebab ia adalah penggemar dari sang penulis asal Sumatra Barat tersebut.

"Kakak, kenapa ikut seminar ini?" tanyanya tiba-tiba.

"Pengin lihat penulis-penulis hebat yang jadi narasumber di seminar ini, sih. Mereka hebat-hebat!" kataku.

"Mau jadi penulis juga?" tanyanya lagi.

"Keinginan itu ada, cuma nggak tau bakal terwujud atau nggak," ungkapku tanpa melihat ke arahnya.

"Loh, kenapa emangnya?"

"Belum ketemu inspirasi mau tulis apa," ujarku.

"Oh begitu, semoga segera ketemu inspirasinya, deh," katanya mendoakan.

***

Sudah kesekian kalinya aku menjadi narasumber untuk kelas menulis novel. Namun, sudah kesekian kalinya juga, ia belum juga muncul setelah berbulan-bulan lamanya. Aku sungguh rindu, pada dia yang kujadikan sebagai inspirasi dalam setiap tulisanku. Aku masih ingat betul kejadian saat pertama kali kami berjumpa. Ketidaksengajaan mempertemukan kami, walau hanya sebatas bertanya beberapa hal saja. Tapi, kukira itu sudah cukup. 

Dua hari kemudian, Thalita datang ke rumahku, entah ada sebab apa. Ia memberikan selembaran kertas berwarna yang kutak tahu apakah itu. Kubuka selembaran tersebut dengan perlahan, memastikan isi di dalamnya tidak rusak saat kutarik keluar. 

Salam hangat, Kak Pramudya. Maaf baru sempat memberi tahu kabar mengenai diriku. Kak Pram tidak perlu khawatir mengenaiku, tidak perlu juga mencari diriku di mana. Di sini, aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Kuharap di sana Kak Pram juga dalam keadaan baik-baik saja.

Beberapa bulan menghilang dari Kak Pram bukan tanpa maksudku. Ada suatu hal yang harus kulakukan demi diriku dan keluarga. Aku harus pindah rumah ke kota lain dan menetap di sini.

Mengenalmu benar-benar membuka pikiranku, banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan dari Kak Pram. Maaf jika selama ini aku belum bisa memberikan manfaat untuk Kak Pram. Di sini, aku selalu mendoakan yang terbaik untuk Kak Pram.

Sebenarnya, melalui surat ini, aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Kak Pram. Jika berjalan lancar, aku akan mengadakan pernikahanku dengan lelaki yang sudah melamarku sebulan lalu. Kalau berkenan, aku mengundang Kak Pram untuk hadir di pernikahanku. Di balik surat ini, aku sudah lampirkan undangan pernikahanku.

Tertanda, Kienna

Seketika hatiku runtuh ketika membaca undangan pernikahan Kienna, tidak ada namaku di sana, tapi nama lelaki lain yang berhasil memilikinya lebih dulu. Aku kecewa, bukan kepadanya, melainkan pada diriku sendiri. 

Selama ini, aku hanya bisa mengungkapkan perasaanku kepadanya hanya dari sebuah tulisan saja, tapi tidak bisa menaklukkan hatinya lewat pembuktian. Aku menyesal hal ini terjadi begitu cepat, bahkan saat diriku sudah jatuh hati kepadanya. 

Sebuah buku yang kutuliskan untuknya langsung tak ada artinya lagi bagiku. Kisah yang kurangkai di dalamnya tak bisa mendapatkan ending terbaik dari pemiliknya. Kedua tokoh utama tak bisa bersatu, sebab harus berpisah karena suatu hal. 

Tak lama kemudian, Gio dan Miko datang ke rumahku. Rupanya, mereka sudah mengetahui kabar pernikahan Kienna dari Thalita. Mereka langsung menenangkanku yang begitu sedih atas kenyataan ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun