"Kakak, kenapa ikut seminar ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Pengin lihat penulis-penulis hebat yang jadi narasumber di seminar ini, sih. Mereka hebat-hebat!" kataku.
"Mau jadi penulis juga?" tanyanya lagi.
"Keinginan itu ada, cuma nggak tau bakal terwujud atau nggak," ungkapku tanpa melihat ke arahnya.
"Loh, kenapa emangnya?"
"Belum ketemu inspirasi mau tulis apa," ujarku.
"Oh begitu, semoga segera ketemu inspirasinya, deh," katanya mendoakan.
***
Sudah kesekian kalinya aku menjadi narasumber untuk kelas menulis novel. Namun, sudah kesekian kalinya juga, ia belum juga muncul setelah berbulan-bulan lamanya. Aku sungguh rindu, pada dia yang kujadikan sebagai inspirasi dalam setiap tulisanku. Aku masih ingat betul kejadian saat pertama kali kami berjumpa. Ketidaksengajaan mempertemukan kami, walau hanya sebatas bertanya beberapa hal saja. Tapi, kukira itu sudah cukup.Â
Dua hari kemudian, Thalita datang ke rumahku, entah ada sebab apa. Ia memberikan selembaran kertas berwarna yang kutak tahu apakah itu. Kubuka selembaran tersebut dengan perlahan, memastikan isi di dalamnya tidak rusak saat kutarik keluar.Â
Salam hangat, Kak Pramudya. Maaf baru sempat memberi tahu kabar mengenai diriku. Kak Pram tidak perlu khawatir mengenaiku, tidak perlu juga mencari diriku di mana. Di sini, aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Kuharap di sana Kak Pram juga dalam keadaan baik-baik saja.
Beberapa bulan menghilang dari Kak Pram bukan tanpa maksudku. Ada suatu hal yang harus kulakukan demi diriku dan keluarga. Aku harus pindah rumah ke kota lain dan menetap di sini.
Mengenalmu benar-benar membuka pikiranku, banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan dari Kak Pram. Maaf jika selama ini aku belum bisa memberikan manfaat untuk Kak Pram. Di sini, aku selalu mendoakan yang terbaik untuk Kak Pram.
Sebenarnya, melalui surat ini, aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Kak Pram. Jika berjalan lancar, aku akan mengadakan pernikahanku dengan lelaki yang sudah melamarku sebulan lalu. Kalau berkenan, aku mengundang Kak Pram untuk hadir di pernikahanku. Di balik surat ini, aku sudah lampirkan undangan pernikahanku.
Tertanda, Kienna
Seketika hatiku runtuh ketika membaca undangan pernikahan Kienna, tidak ada namaku di sana, tapi nama lelaki lain yang berhasil memilikinya lebih dulu. Aku kecewa, bukan kepadanya, melainkan pada diriku sendiri.Â