Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KKN (Konco Kentel Nikung) - Bagian 2

24 April 2024   17:51 Diperbarui: 24 April 2024   18:44 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan diriku dengan Raya terus terjadi ketika Pak Kades selalu menyuruhku untuk menemaninya selama mengabdi di desaku. Sudah banyak obrolan yang kami bicarakan, entah kondisi pendidikan yang kian carut-marut, kualitas anak muda yang terus mengalami penurunan, hingga keterbatasan sumber daya manusia untuk mengalami di desa terpencil, seperti desaku.

Obrolan kian meluas ketika diriku mulai berani bercerita bahwa ingin melanjutkan S-2, namun terhalang biaya. Raya selalu antusias setiap mendengarku bercerita, khususnya mengenai desa yang sedang ia singgahi—yakni desaku.

“Kalau boleh tahu, waktu S-1 ambil pendidikan apa, Mas?” tanyanya.

“Ilmu Komunikasi,” jawabku singkat.

“Setiap orang selalu punya alasan memilih jurusannya, tapi kalau Mas sendiri alasan memiliki Ilmu Komunikasi itu apa?”

“Dulu saya tertarik terjun ke dunia jurnalistik, terlebih ketika mengetahui bahwa setiap jurnalis pasti akan menyiarkan berita dari berbagai penjuru dunia. Ya, itung-itung bisa keliling dunia melalui jurnalis.”

Raya mengangguk pelan. Ia terus bertanya mengenai kehidupanku sebagai salah satu pemuda desa yang memiliki gelar pendidikan di perguruan tinggi.

“Tapi, apa boleh buat, saya nggak bisa melanjutkan pendidikan karena terhalang biaya. Maklum saja, sewaktu kuliah S-1 kemarin, semuanya ditampung beasiswa. Setelah lulus saya kembali ke desa karena berbulan-bulan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan,” lanjutku.

Ia terkekeh. “Mengapa nggak coba mengajar di desa ini, atau membuka taman membaca untuk anak-anak desa? Sayang kalau ilmunya tidak dieksplor, Mas.”

“Sudah pernah saya coba, tapi hanya berlangsung beberapa pekan saja. Minat belajar anak-anak di sini kurang, tapi entah mengapa saat kamu yang mengajar, minat mereka berbanding terbalik.” Aku menatap Raya.

“Sepertinya mereka tertarik dengan gaya belajar yang kamu suguhkan bersama teman-temanmu,” lanjutku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun