Posisi radikal Sukarno tidak hanya tersirat dalam artikel yang ditulisnya merespon Hatta, melainkan juga tersirat dalam artikelnya merespon argumentasi tuan S yang menolak partisipasi kaum buruh di ranah politik, “Perkumpulan sekerdja harus terlepas dari politik. Pun ini ada perlunja supaja permintaan perobahan nasib pada kaum madjikan tidak lantas kena tjap “politik”, sehingga onderhandelingen tertutup. Perlawanan yang sehat sekalipun, akan kurang harganja djikalau ada alasan bisa dikenakan tuduhan politik jang mendjadi dasar”.
Asumsi yang mencita-citakan harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh adalah ideologi yang dilesatkan oleh kaum borjuis kepada kaum buruh. Agar kaum buruh tidak melakukan apa-apa dan membiarkan dirinya dieksploitasi habis-habisan oleh kaum modal demi kesejahteraan kaum modal yang segelintir. Tak heran jika pemikiran yang lahir adalah pemikiran anti politik. Yang pada gilirannya menumbuhkembangkan mentalitas pengemis. Bahwa biarlah politik dipegang oleh kaum modal saja tidak oleh kaum buruh. Konsekuensi dari dipegangnya kendali politik adalah kaum buruh akan tetap terpuruk di sudut-sudut kerja mereka dan satu-satunya kerja membebaskan adalah berdoa seraya berharap doanya dikabulkan oleh majikan.
Wajar jika kaum buruh tak punya posisi tawar di mata majikan, meski secara jumlah kaum buruh lebih banyak dari kaum modal. Karena kekuatan kaum buruh diisolir dalam rantai ideologi palsu yang termanifestasi dalam ajaran tentang harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh, ajaran tentang “berpolitik” akan mematahkan ikhtiar doa kaum buruh kepada kaum modal dikabul. Oleh karena itu segera buang jauh-jauh ajaran yang menipu itu. Sukarno bilang ganti ajaran yang salah itu dengan ajaran akal dialektik. Di mana antara modal dan kerja selalu ada tabrakan kebutuhan.
Kaum buruh mesti mengorganisir diri secara mantap, masuk ke berbagai ranah perdjoangan, tak terkecuali politik, seperti yang tertera dalam keputusan kongres buruh di Surabaya tanggal 4-7 Mei 1933: “Mempertahankan dan memperbaiki nasib kaum Buruh Indonesia di segala lapangan (baik sosial, ekonomi, maupun politik)”. Dengan masuknya kaum buruh ke ranah perdjoangan politik kesempatan mewujudkan keputusan penting lainnya yang dihasilkan kongres yaitu “Menuntut cara menghasilkan barang-barang secara sosialistis (menggunakan modus produksi yang sosialistis)” menjadi terbuka lebar besar-besar.
Menjadi teranglah bahwa perdjoangan kaum buruh itu bukan meminta-minta /mengemis-ngemis pada kaum modal yang bila dikabul syukur dan bila tidak diam saja, perdjoangan itu mesti menuntut, yang bila disepakati berarti serikat buruh amatlah kuat vis a vis kaum modal dan bila tidak disepakati berarti kaum buruh masih kalah kuat berhadapan dengan powernya kaum majikan, maka kaum buruh mesti berbenah diri bukan malah diam saja. Dan pemikiran anti politik adalah pemikiran yang menyamarkan perdjoangan menuntut hak kaum buruh, mestilah dienyahkan dari akal budi kaum buruh.