Waktu menunjukan pukul 06.30 WIB. Budi bersiap-siap menuju kesekolah dengan sepeda motor yang telah ia beli dua tahun yang lalu. Jarak yang jauh dari rumah ke sekolah dan alasan biaya membuatnya memilih untuk naik sepedah motor ke sekolah. Ditambah lagi pekerjaannya sebagai seorang guru menuntutnya agar ia memberi contoh baik tentang kedisiplinan.
Cukup 25 menit waktu yang dibutuhkan budi untuk sampai di SMP tempat ia mengajar. Ini adalah hari pertama ia mengajar, ia tergolong beruntung, begitu lulus kuliah ia langsung ditawari sebagai pengajar. Hari pertama mengajar ia tak merasa ada perasaan grogi pada dirinya, maklum saja pengalaman budi saat PPL dulu pas kuliah ia menumbuhkan rasa percaya diri ketika mengajar. Sosok guru muda yang humoris dengan wajah tampan menjadi nilai tambah bagi dirinya.
Sampai suatu ketika budi menghadapi dilema. Kala itu menjelang pembagian rapot, setiap guru harus menyetorkan nilai para siswa kepada para wali kelas untuk penyusunan rapot, budi di tuntut untuk memberikan nilai tinggi untuk para siswa yang diajarnya, berapapun nilainya. Ia keberatan dengan itu. Bagaimana tidak, nilai ulangan 50 harus ia naikan menjadi 80. Ia mengetahui guru yang lain nya melakukan hal seperti itu. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bisa nilai 50 dibulatkan menjadi 80 bahkan ada yang 90.
Budi mencoba dengan pendiriannya kalau ia hanya akan memberi nilai sesuai dengan kemampuan siswa, ia tak mau profesinya sebagai guru harus di nodai dengan hal seperti ini. Nilai apa adanya yang ia serahkan. Namun ia mendapat teguran dari kepala sekolah.
“pak budi kenapa anda mengasih nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang kami harapkan anda tau kan kalau ujian nasional itu sekarang di tentukan oleh sekolah maka dari itu nilai rapot siswa harus lebih tinggi” (pak kepala sekolah)
“ia tau pak “ (budi)
“lantas kenapa anda memberikan nilai yang seperti ini “ ( pak kepala sekolah)
“ bagai mana bisa pak saya memberikan nilai ke siswa lebih tinggi padahal nilai ulangan siswa aja masih belum mencapai angka yang lebih tinggi, saya mengharapkan siswa yang cerdas kedepan nya dan di pandangoleh masyarakat siswa di sekolah kita lebih cerdas dan nama baik sekolah kita lebih tercemar baik oleh orang lain” (budi)
“ udah keluar kamu dari ruangan saya” (pak kepala sekolah)
“baik pak” (budi)
Budi merasa lega karena udah membicarakan semua apa yang ia rasakan dan di pendam pada saat itu, rasa dilemma nya sekarang sudah terobatai ketika berbicara kepada kepala sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H