Mohon tunggu...
Aant Subhansyah
Aant Subhansyah Mohon Tunggu... profesional -

Kompasianer dari Yogyakarta, bekerja Freelance, pencinta Kebebasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemuda dan Rumusan Bangsa

28 Oktober 2012   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:18 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumusan “Sumpah Pemuda” ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas kemudian  disodorkannya  kepada Soegondo Djojopoespito pada sesi terakhir kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Saat itu M. Yamin berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini). Soegondo kemudian membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, lalu diteruskan kepada peserta yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin (sumber: wikipedia)

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa M Yamin berbisik dengan bahasa belanda kepada sesama orang pribumi? Padahal salah satu butir dari ikrar pemuda itu adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong JavaJong AmbonJong CelebesJong BatakJong Sumatranen BondJong Islamieten BondSekar RukunPPPIPemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoasebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie (namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka). Sementara Kwee Thiam Hionghadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Mereka yang hadir dalam kongres tersebut sebagian besar adalah  kalangan yang mengecap pendidikan belanda sehingga sudah terbiasa menggunakan bahasa belanda dalam pergaulan mereka. Seperti diketahui bahwa pada masa itu bahasa belanda  dianggap sebagai bahasa nomor satu. Jadi ketika M Yamin berbisik seperti di atas itu adalah ekspresi dari “keterpelajaraan” yang  sekaligus membedakannya dengan kaum kebanyakan atau orang awam.

Tampak dari nama-nama kelompok yang hadir dalam konggres pemuda tersebut, selain sebagian besar menggunakan istilah belanda, juga tampak bahwa mereka mewakil daerah/golongan/suku masing-masing. Dari situ terlihat bahwa Indonesia yang dibayangkan kaum elit pemuda tsb adalah indonesia yang terbentuk dari gabungan atau persatuan suku-suku atau daerah-daerah yang berada di kepuluan Nusantara. Indonesia terbentuk dari yang banyak menjadi satu.

Berdasarkan nalar di atas ada kesan bahwa sebelum sumpah pemuda dikumandangkan, suku-suku atau daerah-daerah di Nusantara ini hidup dalam kotaknya masing-masing. Hal ini sesuai benar dengan definisi belanda dan pihak asing lain yang  menganggap  masyarakat-masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang tetap/permanen dalam sebuah ruang yang juga sudah ditetapkan sebelumnya (seperti “masyarakat Jawa”, “masyarakat Sunda”, masyarakat Bugis”, atau kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, “kebudayaan Bugis”, bahkan lebih jauh lagi, “manusia Sunda, “manusia Jawa”, manusia Bugis”, ….dst). Setiap suku digambarkan punya ciri-cirinya tersendiri yang bisa dengan jelas dibedakan dengan suku yang lain. Pandangan seperti ini  umumnya mengabaikan kesaling-terkaitan dan komunikasi di antara suku/kelompok tersebut, karena masyarakat-masyarakat tersebut dianggap tertutup.

Kalau kita tengok kebelakang tampak bahwa anggapan tentang kesuku-bangsaan seperti itu sangat terkait dengan pandangan para penjelajah (atau penjajah) dari eropa, baik kaum agamawan, ilmuan maupun politikus mereka. Orang-orang eropa pada awalnya begitu terheran-heran tentang budaya orang timur yang dirasakan eksotis sekaligus liar dan berbahaya, lalu mereka mencatat dan merumuskan berdasarkan prasangka mereka sendiri. Dengan kekuatan politik dan militer, akhirnya prasangka-prasangka orang asing itu pun diwujudkan dalam bentuk penaklukan-penaklukan, hingga definisi asing tentang kesukubangsaan tersebut akhirnya dipercaya  bahkan oleh kaum pribumi itu sendiri.

Hal di atas sejalan dengan apa yang disinyalir oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu skema divide-et-impera penjajah kolonial belanda terhadap segenap potensi persatuan bangsa Indonesia, seperti dikatakannya: “Di jaman Belanda kita dipecah-pecah secara sistematis, hingga daerah yang satu dijauhkan dari daerah yang lain. Belanda mengatakan akan memajukan kebudayaan kita, akan tetapi usaha memajukan kebudayaan oleh Belanda itu nampak jelaslah maksudnya, yaitu untuk ‘memurnikan’ kebudayaan-kebudayaan daerah-daerah masing-masing. Untuk itu didirikan Java-Instituut, di samping ada Batak-Instituut, ada pula Bali Instituut dan lain-lain.” Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan, Buku 2, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1994). Istilah “memurnikan” kebudayaan tersebut maksudnya adalah bahwa setiap kelompok etnis itu dianggap hidup terpisah, tertutup, sehingga tampak berbeda dan unik dari kelumpok lain.

Sumpah Pemuda dianggap sebagai upaya mempersatukan daerah-daerah yang dianggap sudah berbeda-beda dari sononya itu. Entah sadar atau tidak para pemuda terpelajar itu sejak awal memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah kolonial tentang bagaimana harus memandang keberadaan suku-suku yang ada di indonesia (tentu saja, mereka adalah murid-murid sekolah belanda).

Sejenak kita ke luar dari ruangan para elit, untuk menengok kalangan awam. Kalangan awam yang dimaksud di sini adalah rakyat biasa yang tidak mengenyam pendidikan  Belanda dan bukan berasal dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi, serta tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Sebagian besar hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat di pedesaan.

Jauh sebelum peristiwa konggres pemuda, sebenarnya di antara berbagai kelompok masyarakat tersebut sudah terbentuk hubungan saling tergantung yang berlangsung di antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas yang ada di Nusantara. Banyak bukti yang menujukan bawa mereka bukanlah suku bangsa yang tertutup dan terkotak-kotak (lihat misalnya ulasan Ahmad Baso, dalam buku Pesantren Sudies, 2012).

Masyarakat awam tentu saja  tidak berbahasa belanda, mereka berbahasa ibu di daerah masing-masing. Meski demikian bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia bukanlah barang baru di kalangan masyarakat yang berbeda suku di nusantara. Bahasa Melayu sudah digunakan jauh sebelum para elit dalam Kongres Pemuda menetapkannya  sebagai bahasa persatuan.

Bahasa Melayu diketahui sebagai lingua franca di antara banyak masyarakat di  Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya Sedjarah Bahasa Indonesia,mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut, pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. “Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,” tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.

Bahasa indonesia (melayu) kala itu identik dengan ketidak-formalan, karena merupakan bahasa sehari-hari atau bahasa pasar. Oleh karena bahasa ini dipakai kalangan awam, maka artinya menjadi bahasa mayoritas. Kaum elit pemuda yang aktif di pergerakan pun menyadari bahwa bahasa indonesia yang semakin hari semakin berkembang ini akan menjadi bahasa perlawanan, dan Sumpah Pemuda mengukuhkan hal tersebut di mana melalui bahasa yang bukan formal ini orang dapat menolak formalisasi dari pemerintah kolonial, bahkan menolak semua struktur yang diciptakan kaum penjajah. Belakangan banyak pihak mengakui bahwa salah satu kunci keberhasilan pergerakan nasional indonesia adalah karena mereka memiliki bahasa-nya sendiri.

Sebagaimana yang telah kita fahami bahwa dahulu bahasa indonesia adalah bahasa perlawanan, peran masyarakat umum atau awam dalam hal menjadikan bahasa sebagai pendobrak sangatlah penting, karena bahasa itu memang hidup dalam keseharian mereka. Akan tetapi Sekarang ini bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa resmi, dengan demikian sangat rentan menjadi bahasa kekuasaan, seperti halnya bahasa Belanda pada masa kolonial. Bahkan rezim orde baru telah sedemikian jauh membahwa bahasa indonesia ke dalam kancah politik otoritarian. Orde Baru sangat serius menggunakan bahasa sebagai alat pembentukan cara berpikir, bersikap dan bertindak. Bahasa Indonesia bukan saja menjadi sekedar formalitas, tapi ia juga menjadi bersifat seremonial, semua dilakukan dalam rangka mengukuhkan kekuasaan para elit. Bahasa indonesia diformulasikan dengan jargon “yang baik dan benar”, lalu diarahkan untuk menertibkan orang, semua harus patuh pada aturan yang dibuat penguasa, bukan saja sebatas berkata-kata, tapi patuh dalam keseluruhan budi bahasa.

Jadi, bagaimana sebaiknya kaum muda jaman sekarang menyikapi ke-indonesi-an masa kini?

Para pemuda jaman dahulu “membentuk” Indonesia dengn cara mempersatukan suku-suku yang mereka anggap berdeda-beda dari sono-nya (given). Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pemuda jaman dahulu, maka sebagai kaum muda jaman sekarang akan sangat menarik apabila kita juga mampu melihat bahwa suku-suku bangsa yang selama ini tampak berbeda dan bahkan bertentangan itu terjadi karena ulah politik kolonial, jadi bukan dari sono-nya. Yang given itu hanya satu, ialah bahwa kita sama-sama MANUSIA.

Dengan demikian kita bisa meninjau ulang ke-indonesia-an kita, dan membentuknya kembali  dengan dilandasi kesadaran untuk kembali pada keutuhan jati diri, sekaligus melepaskan diri dari cengkeraman cara berfikir penjajah (saat ini penjajahan bentuk baru tentunya, tokohnya bukan lagi belanda, tapi amerika atau bangsa sendiri misalnya). Dan hal ini setiap orang yang mau merdeka harus bercermin pada kehidupan masyarakat banyak, bukan hanya berorientasi apalagi mengabdi pada kepentingan elit penguasa semata.

Kalau para elit pemuda tahun 1928 merumuskan Indonesia sebagai: dari banyak (suku-suku) menjadi satu (bangsa indonesia), maka dengan sikap kritis kita juga  bisa merumuskan indonesia sebagai: dari satu (sama-sama manusia) menjadi banyak (suku, agama, ras, golongan), dan yang banyak ini kemudian bekerja untuk satu (ke-manusia-an). Kedua sudut pandang tersebut dapat saling melengkapi, sehngga membentu suatu konsep Indonesia yang utuh: yang berketuhanan, berprikemanusaian, barsatu, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Terkait dengan bahasa Indonesia, sesungguhnya ruh perlawanan itu pasti masih ada, dia tersembunyi “di balik awam”. Asalkan kita mau mendengarkan suara-suara awam, yakni kaum yang bukan penguasa, atau mereka yang tidak bekerja untuk penguasa, atau mereka yang tidak berorientasi pada kekuasaan, maka kita akan menemukan kembali kekuatan bahasa persatuan kita.

gambar diambil di sini http://maridup.files.wordpress.com/2009/08/sumpah-pemuda.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun