Mohon tunggu...
Ridwan AbduhRazzaq
Ridwan AbduhRazzaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Negeri Surabaya

Pemuda yang Hobby membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PTN-BH: Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi, Privatisasi, dan Model Represi Berbalut Normalisasi

29 Desember 2023   02:10 Diperbarui: 29 Desember 2023   02:36 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang telah diamanatkan dan yang sudah terukir sangat jelas salah satu tujuan bangsa Indonesia dalam Alinea ke 4 Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (yang berikutnya disebut UUD NRI 1945), yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tentunya berkorelasi kuat dengan peran Pemerintahan sebagai pemegang amanat Konstitusi dan pengampu penderitaan rakyat. Integrasi selanjutnya adalah melakukan penjabaran poin “mencerdaskan kehidupan bangsa” yakni terdapat dalam pasal 31 UUD NRI 1945 yang pada intinya adalah 1) Semua rakyat Indonesia berhak mengenyam Pendidikan, 2) Pemerintah wajib memberikan sistem Pendidikan yang layak dan tepat. Mengingat pula instansi Pendidikan terutama Pendidikan Tinggi merupakan kawah candradimuka bagi para mahasiswanya tak hanya untuk menempuh beban teoritis di kelas, namun sebagai wahana ruang demokrasi publik yang seluas luasnya seperti yang termaktub dalam Konstitusi yakni UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (3) yang jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. 

Perlawanan negara dalam menghadapi arus globalisasi, menandakan kekalahannya dengan masuknya ideologi Neo-liberal pada tahun 1980an. Neo-liberal sebagai tanda pergeseran paradigma kapitalisme pasca-feodal yang terkonsolidasikan ulang akibat krisis ekonomi yang melanda kaum kapitalisme industrial (fordisme) pada tahun 1970an bertransformasi menjadi kapitalisme pasca-industrial (post-fordisme) (Marx & Engels, 1959), yang pada hakikatnya meleburkan logika pasar terhadap setiap sendi kehidupan masyarakat dengan menciptakan komoditas yang memungkinkan untuk diperjual belikan (Boas & Gans-Morse, 2009). Kemudian tidak seimbangnya tripatrit antara negara, modal, dan rakyat dimana kecondongan lebih mengarah pada dominasi modal, sehingga tercipta rolemodel yang kapitalistik dan eksploitatif dengan orientasi utamanya adalah pasar (untung/rugi) (Somma, 2012). Dalam kapitalisme dan neoliberalisme tahap lanjut, diperlukan intervensi negara-politik guna memperluas jejaring ekspansi kapitalnya, yang berimplikasi terjadinya re-organisasi dan perombakan secara massif pada sektor non-ekonomis (Robinson, 2012). Reorganisasi ini bisa dilihat sebagai bagian integral dari ideologi neoliberal dengan wujud privatisasi dan pemotongan anggaran terhadap sektor pelayanan sosial non-produktif seperti Pendidikan. 

Pada tahun 1994, sebesar 81% sumber finansial Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bermuara dari APBN yang kemudian turun diangka 53,3% di tahun 2000 setelah berstatus BHMN. Ketika PTN berstatus PTN-BH alokasi anggaran dari pemerintah hanya sekitar 35% sebagai sumber income universitas, sebaliknya 65%-70% lebih bermuara dari ‘’dana swadaya masyarakat’’ dengan proporsi paling besar dari penerimaan pendidikan tinggi. Perubahan dari BHMN ke PTN-BH semakin meleburkan ‘’diversifikasi’’ sumber anggaran PTN/Universitas memiliki ketergantungan terhadap uang biaya kuliah yang telah dibayarkan oleh para mahasiswa. Secara komprehensif berbagai dampak dari kapitalisme-neoliberal pada pendidikan tinggi telah menyebabkan dehumanisasi, insularity dan precarity serta proletariatisasi secara massif dan massal (Rossi, 2014). Dalam formulasi anggaran sedemikian rupa, berimplikasi logis terhadap kenaikan biaya perkuliahan dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia, sehingga terjadi privatisasi institusi Pendidikan Tinggi Negeri yang seharusnya berjalan secara egaliter dan inklusif sebagai ruang publik. 

Dapat kita lihat data komparasi antara kenaikan biaya perkuliahan di Indonesia dengan kenaikan penghasilan masyarakat Indonesia dalam rentang waktu tahun 1922-2020, terjadi kesenjangan dalam komparasi tabulasi diatas sehingga secara struktural pendidikan tinggi merupakan suatu bidang layanan sosial yang bersifat eksklusif. Efek domino dari hal ini adalah terjadi marjinalisasi dan proletarisasi massal, negara telah membentuk kelas-kelas sosial terhadap akses pendidikan tinggi (Carlson, 2020), dimana hanya masyarakat menengah-keataslah yang bisa mengakses pendidikan tinggi, sedangkan hal ini kontradiktif dengan salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang terpatri dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. 

Dalam model represi PTN-BH ini bukanlah model baru atau model yang bersifat inovatif/alternatif, namun merupakan model represi hasil adopsi kebijakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kampus) warisan dari zaman otoritarian dan totalitarian Soeharto (Susilo, 2021). NKK-BKK Soeharto memiliki model represi melegitimasi intervensi negara atas pendidikan tinggi dengan metode kontra-revolusi yang diperkenalkan Jenderal Ali Murtopo yaitu Massa Mengambang (Floating Mass). Massa mengambang memiliki intisari bahwa rakyat akan “menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan” (Lane, 2014), dengan demikian konsep massa mengambang sebagai indoktrinisasi, depolitisasi, dan reorientasi mahasiswa untuk tidak berkecamuk dalam ranah politik kampus maupun negara, serta mereduksi gerakan populer yaitu politik mobilisasi massa seperti konvoi, pawai, arak-arakan, dsb. Demobilisasi dengan konsep massa mengambang terbukti berhasil dalam agenda pembasmian ideologi dan menghapus ingatan akan revolusi, serta metode-motode gerakan populer lainnya hingga eskalasi akar rumput universitas dengan hilangnya bentuk-bentuk protes yang melibatkan metode politik mobilisasi massa sekitar satu dekade dari akhir tahun 1970an hingga akhir 1980an. 

Model represi ini diadopsi kembali dalam modeling PTN-BH yang juga melegitimasi intervensi negara terhadap universitas, ditambah dalam model represi ini juga tak luput menghadirkan intervensi pasar (kapital) dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hubungan antara negara dan modal (kini disebut oligarki) menjadi primodial utama dalam menentukan arah kebijakan negara kini (Peters, 2012), dimana semua bentuk formulasi kebijakan publik harus mendermakan kepentingan-kepentingan kapital didalamnya termasuk intervensi terhadap agenda non-produktif seperti pendidikan. Kini dalam konteks modeling PTN-BH tak hanya melanjutkan doktrin demobilisasi dan depolitisasi NKK-BKK ala Rezim otoritarian Soeharto namun semakin mendorong organisasi-gerakan mahasiswa menjadi “mesin anti politik’’. Wacana agenda stabilitas, “netralitas” dan “nama baik kampus” adalah terminologi yang secara masif kemudian populer dinarasikan dan digaungkan para birokrat universitas (Susilo, 2021). Kemudian ada sebuah kredo yang sering terdengar sebagai bagian integral dari agenda pertarungan wacana, “tidak ada yang netral, ketidakberpihakan Anda sejatinya adalah keberpihakan atas diri Anda sendiri”. Secara sistematis model represi ini terdapat pula dalam ihwal pemilihan Rektor, dimana 35% suara dipegang oleh kementrian terkait. Hal ini merupakan degradasi dan terkikisnya independensi kampus, juga sangat kontradiktif dimana menyulut mahasiswanya untuk menjadi mesin anti-politik namun disisi lain mereka sendirilah yang berada dalam agenda wacana politik. 

Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara, sudah semestinya negara dapat menjamin dan menciptakan iklim pendidikan yang inklusif terutama pendidikan tinggi. Negara sebagai pengampu penderitaan rakyat dan pemegang amanat konstitusi tidak bisa melepas tanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan dalam cengkraman ekspansi kapital dan menjadikan pendidikan semata-mata hanya sebagai barang dagangan (komodifikasi). Negara juga harus menjamin universitas sebagai wadah kebebasan akademik dan ruang berfikir kritis bagi mahasiswanya sebagai wujud restrukturisasi demokrasi yang telah menjadi amanat dari agenda reformasi. 

“Adakah Yang Lebih Tidak Adil Selain Daripada Mendidik Sebagian Kecil Anak-Anak Orang Kaya, Dan Membiarkan Sebagian Besar Rakyat Miskin Tetap Bodoh ?” 

Soe Hok Gie-

Hidup Pendidikan Inklusif !, Hidup Mahasiswa !, Hidup Rakyat Indonesia !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun