Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi tembakau yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan gloabal tobacco epidemic WHO tahun 2017, indonesia merupakan negara peringkat ke-1 dengan prevalensi laki-laki perokok (usia 15 tahun ke atas) sebesar 76.2%, sedangkan prevalensi perokok wanita masih rendah (3.6%). Angka-angka ini berpotensi meningkat dengan maraknya kasus merokok pada anak-anak. Survey RISKESDAS menunjukkan peningkatan trend merokok pada anak laki-laki usia 10 tahun ke atas dari 55.7% di tahun 2007 menjadi 56.7% di tahun 2014. Tentu kita masih ingat dengan kasus balita perokok (minimal 2 bungkus rokok perhari) yang sempat mengebohkan Indonesia dan negara lain.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengontrol perokok di Indonesia, mulai dari menaikkan harga rokok, memberikan keteragan dan gambar bahaya merokok pada bungkus rokok, dan membuat aturan tentang kawasan bebas merokok, dan lain sebagainya. Namun, upaya-upaya tersebut dalam praktik real-nya masih sulit untuk mengontrol perokok di Indonesia, terlihat dari prevalensi perokok yang masih sangat tinggi. Merokok seperti sudah menjadi budaya dan sulit dihilangkan dari masyarakat.Â
Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia berperan besar dalam perekonomian nasional dan juga berkontribusi dalam beberapa bidang seperti pendidikan dan olahraga (contoh: Beasiswa Djarum, Putera Sampoerna Foundation, dan Universitas Sampoerna). Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan khusus untuk mengontrol prevalensi perokok di Indonesia.
"Terlanjurnya" kontribusi industri rokok yang telah dirasakan dan diberikan kepada rakyat dan negara seyogyanya harus dijadikan bahan pertimbangan dalam mencari alternatif solusi yang tepat untuk mengontrol prevalensi perokok. Minimal, alternatif solusi tersebut tidak memperparah kondisi yang sudah ada. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mencegah atau melarang penanaman modal atau inovasi pihak luar/asing terkait industri rokok dan tembakau yang sudah ada di Indonesia.
Salah satu upaya untuk merealisasikan dan mengadvokasi alternatif solusi telah coba dilakukan oleh pergerakan mahasiswa dan berbagai aktivis dalam tajuk "tolak WTPM" tahun 2016 melalui pengajuan komplain kepada pemda Jakarta dan dengan mengadakan orasi dan berdiskusi dengan pihak panitia WTPM. WTPM (World Tobacco Process and Machinery) adalah pameran inovasi mesin produksi rokok berskala internasional yang diadakan setiap tahun, yang pada tahun lalu diadakan di Indonesia pada tanggal 27 hingga 28 April.Â
Usaha tersebut memang pada akhirnya tidak memberikan dampak signifikan karena WTPM tetap berjalan dan perwakilan mahasiswa walkout karena diskusi yang dilakukan dengan pihak WTMP tidak mencapai kesepakatan. Namun usaha tersebut patut diberikan apresiasi karena minimal dapat membuat masyarkat "melek" terhadap masalah pengontrolan rokok di Indonesia. Usaha-usaha sejenis untuk mengotrol prevalensi perokok untuk kedepannya dirasa akan jauh lebih kuat apabila mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat.
Keputusan pemerintah Indonesia yang sampai sekarang masih belum menjadi bagian dari WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) cukup disayangkan. Padahal apabila Indonesia tergabung dalam sistem itu, pemerintah akan memiliki power yang lebih kuat dalam mengontrol prevalensi rokok di Indonesia. Advokasi untuk hal ini mungkin akan sulit menimbang "terlanjurnya" kontribusi industri rokok pada ekonomi negara, namun bukan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan apabila pemerintah secara lebih serius ingin berkomitmen dalam mengendalikan prevalensi dan bahaya merokok di Indonesia.
Dari tulisan saya  di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah perokok di indonesia masih sangat banyak dan perlu dikontrol dengan pendekatan yang lebih baik. Kiranya hal ini perlu menjadi perhatian bagi semua kalangan, terutama dari pemerintah, pihak kesehatan, dan pembuat kebijakan baik itu kebijakan kesehatan dan juga kebijakan terkait hukum dan peraturan-peraturan yang mengatur rokok. Advokasi supaya Indonesia tergabung dalam WHO FCTC memang merupakan hal yang sulit mengingat kontribusi industri rokok di Indonesia, namun hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil apabila pemerintah lebih serius dan lebih peduli dengan pengendalian prevalensi, bahaya, dan dampak buruk merokok di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H