Mohon tunggu...
KKN P KESIMAN 2024
KKN P KESIMAN 2024 Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Kami Mahasiswa semester 5 yang sedang melaksanakan KKN didesa Kesiman, Trawas, Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangun Kebebasan Pers yang Beretika

6 Juli 2022   10:30 Diperbarui: 6 Juli 2022   10:32 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan Pers yang hadir sejak pemberlakuan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, memunculkan beragam reaksi dari komunitas Pers dan masyarakat. Berbagai penyalahgunaan atas nama kebebasan Pers tersebut menjadi dasar sebagian masyarakat kita untuk menilai “Pers telah berbuat semena-mena”. Dan ada juga yang menganggap bahwa Pers sebagai penyebab terjadinya berbagai macam masalah yang ada di negara ini tanpa berpikir lebih jauh bahwa kebebasan Pers juga telah memberi manfaat yang lebih besar pada masyarakat. 

Oleh karena itu artikel ini disusun untuk sebagai salah satu laporan naratif dan visual terhadap pelaksanaan program “Membangun Kebebasan Pers yang Beretika”. Ucapan terima kasih kami sampaikan atas perhatian anda sekalian yang telah membaca artikel ini. Dalam berbagai diskusi yang diselenggarakan Dewan Pers di sejumlah kota besar di Indonesia dalam empat tahun terakhir, sering muncul keluhan terhadap kinerja Pers yang telah menyalahgunakan kemerdekaan Pers dalam Pasal 28F Undang-Undang 45. 

Kemerdekaan Pers yang berlaku sejak Mei 1998 terkesan justru telah membuka peluang bagi eksploitasi terhadap kebebasan Pers. Dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan mengabaikan fungsi ideal Pers. Penyajian pengemasan informasi dan hiburan melalui media massa lebih bagus karena pertimbangan nilai jual atau rating. 

Akibatnya infotainment mengalahkan informasi, seperti berita gosip selebritis lebih mendapatkan ruang dan waktu di media, juga kisah mistik, dan pornografi. Pers yang seperti itulah yang melahirkan berbagai istilah dalam jurnalisme, seperti jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, jurnalisme preman, jurnalisme pelintir, jurnalisme hitam, dan lain-lain.

Selain mecemooh praktek jurnalisme sejumlah kalangan juga mempertanyakan peran Dewan Pers, yang dinilai tidak punya gigi. Bahkan muncul tuntutan agar Dewan Pers dibubarkan, jika tidak dapat berfungsi sebagai institusi swa-regulasi (self regulation) di bidang Pers. Kewenangan Dewan Pers untuk menegakkan KEWI saat ini dipertanyakan mengingat prinsip kode etik bersifat personal dan otonom. Dimana penataan kode etik tergantung sepenuhnya pada hati murni wartawan. Sebab kode etik dibuat dari, oleh, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi yang berikrar untuk menaati dan melaksanakannya.

Namun, masyarakat cenderung mengabaikan peran organisasi profesi dalam hal penegakan kode etik, dan membebankan kesalahan hanya hanya kepada Dewan Pers atas kegagalan penegakan etika Pers. Padahal fungsi Dewan Pers adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik tanpa perlu menindaklanjuti dengan proses mengadili serta menetapkan saksi atas pelanggaran tersebut.

Sisi lainnya, pembahasan Undang-Undang Pers saat itu juga menginginkan adanya kebebasan mendirikan organisasi profesi, yang sebelumnya hanya mengenal satu organisasi. Akibatnya seketika banyak bermunculan organisasi wartawan baru, yang banyak diantaranya tidak layak disebut sebagai organisasi wartawan. 

Tanpa adanya ketentuan yang mengatur pembentukan organisasi wartawan, terkesan komunitas wartawan menjadi profesi yang kacau, karena siapa saja dapat mengklaim diri sebagai wartawan, dan kemudian mendirikan organisasi. Masalahnya aktivitas organisasi wartawan yang menjamur tersebut justru cenderung menyalahgunakan previlege wartawan, sehingga mengundang keluhan masyarakat.

Dewan Pers mengidentifikasi tiga hal yang mendesak untuk segera direspon guna menjawab keluhan masyarakat, yaitu: (1) Merevisi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI); (2) Memperkuat Peran Dewan Pers; dan (3) Menyusunan Standar Organisasi Wartawan. Dalam hal ini dipaparkan perbandingan antara teks Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI, 1999) dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ, 2006).

Pertanyaan pertama yang muncul dalam proses merevisi KEWI adalah judul rumusannya, yang berimplikasi pada pemakaian istilah yang dibakukan untuk keseluruhan teks kode etik. Apakah kode etik versi revisi 2006 ini akan disebut sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagaimana ditandatangani pada tahun 1999 oleh 26 organisasi wartawan, atau disebut sebagai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai implikasi dari pemakaian istilah ini dalam Undang-Undang Pers nomor 40 Tahun 1999?

Setelah perdebatan cukup panjang, para anggota Pokja sepakat untuk memakai istilah Kode Etik Jurnalistik, untuk menyelaraskan dengan istilah yang telah tertera dalam Undang- Undang. Sementara itu tentang penggunaan istilah Kebebasan Pers atau Kemerdekaan Pers, telah dipilih Kemerdekaan Pers. Hal tersebut dikarenakan Kemerdekaan Pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik sesuai dengan hati nurani insan Pers.

Setelah merevisi Kode Etik Jurnalistik, maka setelahnya diperlukan penguatan peran Dewan Pers demi menunjang fungsinya. Yakni diantaranya dengan membentuk Perwakilan Dewan Pers yang tak hanya berada di Ibu Kota Jakarta saja. Melainkan juga mendirikannya di beberapa daerah yang sarat dengan masalah pemberitaan Pers guna menampung pengaduan masyarakat setempat. Kantor ini sifatnya hanya untuk menampung permasalahan, yang nantinya permasalahan tersebut dikirim kepada Dewan Pers di Jakarta. Karena kantor perwakilan ini tak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.

Namun persoalan lain pun muncul karena dalam pembangunan kantor perwakilan ini membutuhkan dana untuk pelaksanaanya. Padahal Dewan Pers bisa beraktivitas atas bantuan dana dari donor asing, sedangkan bantuan dana dari pemerintah sangat minim. Hingga pada 2006 ada komitmen dari pemerintah untuk meluncurkan bantuan per tahun.

Kemudian diperlukannya hukum untuk melindungi kebebasan Pers. Terlepas dari perdebatan salah satu tugas Dewan Pers adalah melindungi kebebasan Pers. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 15 ayat 2 tentang fungi Dewan Pers, yaitu melindungi kemerdekaan Pers dari campur tangan pihak lain.

Lalu hubungan antara Dewan Pers dengan perusahaan Pers terkait dengan pelaksanaan kode etik, jika terjadi pelanggaran maka perusahaan Pers-lah yang berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawannya. Selain itu, dalam ketentuan Standar Organisasi Wartawan disebutkan soal pendaftaran dan verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers terhadap organisasi-organisasi wartawan. Verifikasi oleh Dewan Pers hanya berfungsi sebagai registrasi, namun untuk dapat memilih anggota Dewan Pers, maka organisasi tersebut harus terdaftar di Dewan Pers dan harus lolos verifikasi.

Dan untuk pencalonan anggota Dewan Pers dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi Pers yang telah terdaftar di Dewan Pers, kemudian diproses oleh Badan Pekerja Dewan Pers bersama anggota Dewan Pers. Jika ada organisasi wartawan tidak lulus verifikasi yang dilakukan Dewan Pers namun memiliki anggota yang layak, maka dia bisa dipilih sebagai calon anggota Dewan Pers. Jika pemilihan calon anggota Dewan Pers dianggap perlu dilakukan melalui fit and proper test, maka hal itu akan dilakukan oleh Dewan Pers, bukan oleh organisasi yang ada di luar Pers. 

Wartawan sebagai organisasi profesi memiliki hak asasi yang dilindungi secara langsung oleh Pancasila. Hal tersebut didasarkan pada Undang- Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dimana didalamnya memuat tentang kebebasan Pers yang berguna untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis. Oleh karenanya, organisasi profesi wartawan ini perlu dikembangkan untuk memiliki intregitas serta tanggung jawab sebagai anggota yang profesional.

Atas dasar tersebut wartawan di Indonesia memiliki standar organisasi, antara lain sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum.
2. Memiliki anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga profesi. 3. Oragnisasi wartawan yang berkedudukan di Indonesia harus memiliki alamat kantor pusat serta kantor cabang yang jelas dan
dapat divertifikasi.
4. Pengurus organisasi wartawan
pusat setidaknya terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan tiga anggota lainnya yang tidak memiliki jabatan.
5. Dan untuk pengurus cabang sekurangkurangnya di sepuluh provonsi yang ada di Indonesia.
6. Memiliki mekanisme pergantian kepengurusan dalam kurun waktu tertentu.
7. Organisasi wartawan setidaknya memiliki 500 wartawan dari seluruh cabang.
8. Memliki progam kerja di bidang peningkatan profesionalisme Pers.
9. Memiliki Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers. 10. Organisasi ini memiliki dewan kehormatan yang 
bertugas untuk mengawasi, mengambil keputusan serta mentapkan saksi atas pelanggaran kode etik yang telah dilanggar oleh anggotanya.
11. Organisasi wartawan harus terdaftar dan terverifikasi di Dewan Pers.
12. Secara rutin melakukan regristasi di Dewan Pers setiap pergantian kepengurusan.
13. Dewan Pers menetapkan standar organisasi wartawan.

Adapun beberapa Persoalan yang dihadapi adalah; penempatan kantor pusat yang tidak harus berada di Ibu Kota Jakarta, kewenangan dalam mebuat Kode Etik Jurnalistik sendiri diluar kentuan yang telah ditetapkan, wajib memiliki AD dan ART, memiliki kantor cabang setidaknya 10 kantor yang tersebar di seluruh Indonesia dari 33 provinsi yang ada, memiliki jumlah keanggotaan paling sedikit 500 orang tiap organisasi diamana setidaknya ada 10 orang di tiap kantor cabangnya, dan memiliki bukti hukum yang secara sah telah terdaftar di Depdagri.

Adanya pendaftaran serta vertifikasi yang dilakukan bukan semata- mata hanya untuk membatasi ruang gerak suatu organisasi. Melainkanbertujuan untuk memastikan bahwa organisasi tersebut secara sungguh-sungguh melakukan peningkatan profesionalisme kewartawanannya. Yang mana nantinya berguna untuk memantau keberadan serta kegiatan oragnisasi wartawan tersebut, sehingga mampu meningkatkan ke profesionalismenya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun