Untuk problem ngudud ini penulis punya pengalamannya sendiri.
Suatu hari di kampung kedatangan mahasiswa KKM dari salah satu universitas di kota Serang. Sebagai pemuda kampung sini dan sesama mahasiswa, penulis mencoba melakukan pendekatan dengan mereka, sekalian buat menambah relasi, begitu pikirku waktu itu. Hal pertama yang terjadi adalah ditawari rokok, namun kali itu aku menolak secara halus. Karena memang pada saat itu masih dengan prinsip yang kuat, anti asap rokok. Setelah sekian lama mencoba pendekatan, ada perasaan ketidakcocokan komunikasi dengan mereka. Entah kenapa, kecanggungan ada diantara kami. Aku mencoba menganalisa, mungkin karena faktor kurang bisa berbaur dengan kebiasaan mereka, dan sepengamatanku mereka tidak pernah lepas dari rokok. Rokok sudah seperti sahabat setia bagi mereka. Maka kuputuskan pada suatu malam pergi berkunjung ke posko, namun kali ini dengan sedikit perbedaan. Ya, aku mencoba tidak anti dengan kepulan asap itu. Pada akhirnya kita ngudud bareng.
Dan yang terjadi adalah obrolan berlangsung dengan intim. Bahkan sampai larut malam kita masih bergelut dengan kepulan asap dan kopi. Walaupun dengan konsekuensi dada terasa panas dan sebisa mungkin menahan agar tidak batuk saat menghisap rokok. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk bisa diterima dalam kelompok.
Akhir kata, penulis ingin menyampaikan suatu argumen. Manusia memang diciptakan berbeda-beda, namun dalam berinteraksi sosial manusia akan selalu mencari persamaan. Kalaupun sebuah lembaga mempersatukan, namun akan tetap lahir kelompok-kelompok kecil lainnya. Karena pada dasarnya manusia hanya ingin berinteraksi dengan yang sefrekuensi. Entah itu frekuensi karena sama-sama menyukai seni, frekuensi karena persamaan penikmat drama korea, atau frekuensi sesama penggemar Manchester United. Penyatuan kelompok karena satu frekuensi ini yang biasanya akan langgeng, tahan oleh gerusan waktu.i
Disisi lain, ini sedikit menyebalkan. Karena bagi kaum introvert, untuk bisa berinteraksi dengan kelompok lain, maka perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang mungkin bertentangan dengan kebiasaan. Kamu yang tidak terbiasa nongkrong tiba-tiba harus dipaksa masuk ke circle tongkrongan yang memiliki budaya ngudud, dimana perokok pasif harus ikut menyesuaikan. Faktor kesehatan yang selama ini dijaga baik-baik harus sedikit mengalah, demi terjalin interaksi yang intim.
Menyebalkan memang, ketika dunia tidak mau menerimamu yang berbeda dan mayoritas selalu benar. Tapi inilah hidup, kamu tidak akan bisa masuk ke circle pesepeda kalau kamu tidak suka bersepeda. Perbedaan hanya kulit, didalamnya dunia penuh dengan persamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H