Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Quarter Life Crisis

14 November 2020   23:55 Diperbarui: 15 November 2020   01:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam minggu, sendiri, rebahan. Ah, ciri khas jomblo sekali. Ponsel di tangan, stop kontak samping kasur, cukup untuk menjadi kawan kala sepi menghujam jiwa. Suasana hening perkampungan membuat aktivitas menjelelajahi sosmed ini menjadi semakin khusyuk. Kadang penulis menahan tawa ketika postingan lucu muncul di Feed Instagram. Kadangkala postingan itu lucu sekali, namun tetap tawa ini ditahan. Tidak lain tidak bukan karena penulis sendiri sedang maskeran. Ya, masker di wajah ini membuat kulit terasa kencang, tertawa pun jadi tak lepas. Sekali lepas, retak sudah.


Suatu ketika, penulis menemukan sebuah konten mengandung bawang. Telihat dari kredit yang ditampilkan, postingan tersebut merupakan Reupload dari Channel Youtube Cretivox. Judul dari konten video itu adalah, “5 Menit Memandang Wajah Ibumu.” Sebuah konten inspiratif menurut penilaian penulis.


Postingan itu jelas mengandung bawang. Bagaimana tidak, sekalipun kita sedari kecil tinggal bersama ibu, tapi ingatkah kapan terakhir kali kamu menatap wajah ibumu dengan takzim, jangankan 5 menit, 10 detik saja mungkin kita jarang menatap wajah ibu. Dengan kesibukan satu sama lain, membuat kebersamaan anak dan orang tua sedikit berkurang kualitasnya. Ditambah ada kecenderungan canggung ketika kita harus menatap wajah ibu. Kita bisa saja saling berpandangan mata dengan pacar, tapi berpandangan dengan orang tua, ah sepertinya mustahil. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekedar untuk mengatakan sayang saja kepada orang tua sulit dilakukan, apalagi saling berpandangan. Ini masih menjadi misteri, karena sebenarnya bukan kita tak sayang, namun lebih karena ungkapan sayang itu lebih diaplikasikan kepada sikap dan tindakan, tidak dengan ucapan.


Konten itu mampu memunculkan rasa haru, karena bagi penulis, konten-konten tentang ibu selalu berhasil membuat sedih. Sosok yang melahirkan kita, merawat kita dari kecil hingga dewasa, membuat jalinan kasih antara anak dan ibu begitu kuat. Tentu tanpa mengenyampingkan figur ayah.
Berawal dari Instagram, penulis langsung pindah ke Youtube untuk menonton konten ini di Channel-nya langsung. Video berdurasi 20:54 menit mampu membawa penulis untuk sejenak memikirkan hidup. “Sudahkan aku berbakti pada ibu”, atau “Apakah aku selama ini menjadi beban bagi orang tua”, pertanyaan-pertanyaan itu seketika muncul di kepala. Tentu bukan tanpa alasan, mengingat di usia 20-an ini rasa tanggung jawab kita sebagai anak mulai diuji. Kapan kita bisa menyenangkan kedua orang tua.


Dahulu mungkin hidup kita dihabiskan untuk kesenangan pribadi. Nongkrong, pacaran, pulang malam, merupakan hal lazim yang dilakukan kawula muda. Tapi, ketika memasuki fase dewasa, perasaan itu muncul. Sebuah perasaan yang mengusik jiwa, membuat gundah, tidur tak nyenyak. Entah berapa ratus kali pertanyaan ini muncul dan belum juga terjawab, “Sebenarnya aku hidup buat apa”, atau “Mau jadi apa aku ini?”. Penulis meyakini mayoritas anak yang beranjak dewasa mengalami fase ini.


Inilah yang dinamakan dengan Quarter Life Crisis”, sebuah keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun. Perasaan seperti kekhawatiran dan keraguan terhadap kemampuan diri, dan bingung untuk menentukan arah hidup. Tekanan ini biasanya muncul dari lingkungan. Momen ketika melihat teman seangkatan terlihat bisa melakukan suatu capaian yang membanggakan, tuntutan untuk menjadi orang yang berhasil, atau ketika kita secara tak sengaja melihat postingan teman di sosial media yang memamerkan prestasinya, disaat itulah perasaan ragu terhadap diri sendiri itu muncul. Kapan aku bisa seperti mereka, kapan aku bisa membeli yang aku inginkan tanpa terbebani ketiadaan uang, namun disisi lain, akupun tak tahu harus melakukan apa. Begitulah kira-kira yang diraskan oleh orang yang sedang melalui fase ini. Ya, fase Quarter Life Crisis. Bahayakah ini, tentu tidak, karena memang ini fase yang lazim dialami oleh mayoritas orang. Namun, menjadi berbahaya jika kita larut tenggelam dalam suasana ini tanpa tahu pasti jalan mana yang harus kita tempuh.


Melewati fase ini memang tidak mudah, butuh kerja ekstra untuk bisa keluar dari jerat Quarter Life Crisis.” Pemikiran, tenaga, dan waktu harus kita korbankan dalam pertarungan merebut masa depan gemilang. Penulis sendiri sempat mengalami fase ini, bahkan sampai saat ini ketakutan itu masih sering muncul. Walaupun memang sebuah pilihan sudah penulis tentukan, menjadi seorang entrepreneur dan penulis. Mempunyai brand kaos merupakan impian penulis sejak duduk di bangku SMA. Dahulu, ketika sekolah, penulis sempat menjadi reseller untuk sebuah brand distro, menjualnya dari satu kelas ke kelas yang lain. Menjual di Facebook juga penulis lakukan saat itu. Tidak ada rasa malu, yang ada hanyalah rasa semangat untuk mengumpulkan uang.


Sekarang, setelah sekian lama vakum berjualan, penulis kembali mencoba menapaki jalan yang telah lama ditinggalkan. Untuk sementara menjadi reseller dari produk peci Miki Hat, sebuah produk topi peci yang bisa dipakai untuk Sholat dan Fashion. Karena memang produk peci ini berbeda dari biasanya, bentuknya mirip seperti topi. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa kunjungi akun Instagram @minhaj_equality.


Disisi lain, impian untuk mempunyai brand kaos sendiri pun hendak dibangun kembali. Penulis berpikir, rasa penasaran itu harus dituntaskan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan diri sendiri yang memulai, nanti orang lain yang membangun impian itu. Penulis sendiri masih memikirkan nama Brand yang cocok untuk produk kaos nanti. Tapi, konsepan bahwa costumer bisa menentukan sendiri desain kaos sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga pembeli bisa merasa bangga bahwa desain itu hanya ia yang memakainya.
Kita semua harus mulai berani membangun impian kita sendiri, kadangkala memang kita takut, tapi mau sampai kapan kita takut memulai?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun