Viral media sosial facebook warga Malinau pada minggu-minggu ini banyak dipenuhi oleh gambar kegiatan kerja bakti masyarakat di setiap Rukun Tetangga (RT).
Tidak hanya sebatas warga biasa yang berprofesi sebagai petani maupun pedagang tetapi para pejabat eksekutif mulai Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah dan Para Kepala SKPD serta pejabat legislatif mulai Ketua DPRD beserta para anggota tanpa kecuali ambil bagian dalam kerja bakti di lingkungannya masing-masing.
Semangat seluruh warga Malinau ini tentu saja merupakan sebuah modal besar pembangunan daerah yang jika dikelola dengan baik menjadi kekuatan dalam menopang kemajuan daerahnya.
Dalam konteks Teori pertumbuhan ekonomi yang banyak dikenal melalui buku teks, selalu menyebut tiga modal yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan suatu wilayah yaitu: modal alam, modal fisik (uang dan bangunan), dan modal manusia. Ketiga macam modal tersebut seolah olah sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan, sehingga setiap negara idealnya memiliki ketiga modal tersebut (Iyer 2005).
Analisis seperti ini sangat umum dilakukan para ekonom terutama dari aliran Neo-klasik. Luput dari analisis ini adalah interaksi para aktor ekonomi di pasar. Interaksi yang dimaksud meliputi upaya membangun jaringan, transaksi, dan proses entertainyang merupakan kebiasaan dalam dunia ekonomi.
Setelah itu muncul beberapa karya tentang hubungan budaya dan ekonomi namun tidak setenar karya Weber. Pada intinya kajian budaya dalam pembangunan menekankan bahwa keberhasilan suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada sumber daya alamiah seperti yang banyak dikutip buku teks tapi sumber daya masyarakat sipil ikut menentukan pertumbuhan ekonomi (Scheneider 2000).
Hal ini menunjukkan bahwa ada sumber daya lain di luar modal fisik dan modal manusia yang berperan dalam pembangunan ekonomi. Walaupun pada awalnya terjadi perbedaan pandangan antara para ekonom dan ahli ilmu sosial lain tentang peran faktor non-ekonomi, namun pada akhirnya mereka sepakat bahwa yang sering dilupakan dalam analisis pertumbuhan ekonomi adalah “modal sosial” atau (social capital).
Defenisi modal sosial sangat beragam, namun secara umum modal sosial dapat dimaknai sebagai institusi, hubungan, sikap dan nilai yang memfasilitasi interaksi antar individu antar kelompok masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi dan pembangunan masyarakat itu sendiri (Iyer 2005). Ada beberapa tokoh yang berperan memperkenalkan konsep modal sosial dalam karya-karya mereka seperti Bourdieu, Coleman dan Putnam (Sabatini, 2005).
Menurut Bourdieu ada 3 dimensi modal yang berhubungan dengan kelas sosial yaitu: modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial. Bourdieu adalah ilmuan sosial dari aliran Neo -Marxis yang mengaitkan modal sosial dengan konflik kelas. Modal sosial bagi Bourdieu adalah relasi sosial yang dapat dimanfaatkan seorang aktor dalam rangka mengejar kepentingannya. Dengan demikian modal sosial bisa menjadi alat perjuangan kelas.
Meminjam definisi Bourdieu tentang modal sosial yaitu adanya relasi sosial seorang aktor dalam mengejar kepentingannya, maka dalam berbagai sudut pandang, aktor dimaksud bukan hanya sekedar pimpinan daerah yang berkepentingan dalam realisasi janji politiknya namun dalam skala mikro aktor dimaksud boleh jadi adalah Ketua RT yang merupakan motor utama penggerak di lingkungannya.
Titik temu ini tentu berada dalam sudut pandang yang sama pasca pelaksanaan pemilihan ketua RT Serentak di mana para pemenang hati rakyat (baca: Ketua RT terpilih) memiliki kepentingan untuk membuktikan janjinya saat kampanye lalu. Inilah simbiosis mutualisme antara Kepala Daerah dengan Ketua RT yang sama-sama memiliki kepentingan untuk membuktikan janjinya.
Sebuah masa di mana alat komunikasi tidak secanggih saat ini yang hampir semua orang memiliki smartphone. Siaran televisi juga masih terbatas pada stasiun milik pemerintah. Saat itulah masa-masa keemasan gotong royong hadir. Sebuah kondisi di mana kuatnya relasi sosial antar masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di lingkungannya. Sebuah relasi yang menjadi alat perjuangan masyarakat dalam mencapai tujuan bersama. Relasi itulah yang disebut oleh Bourdieau sebagai modal sosial.
Modal sosial (bisa bagian dari budaya) memainkan peran penting dalam masyarakat sebagai aset sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat bekerja secara lebih efisien. Jika suatu masyarakat berhasil menggalang kepercayaan yang kuat antar anggota, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengan modal uang yang lebih sedikit. Dan gotong royong adalah contoh yang nyata dari kekuatan modal sosial masyarakat Indonesia.
Menyadari kekuatan laten social capital (modal sosial) yang telah lama terpendam dalam masyarakat, Pemerintah Kabupaten Malinau membangkitkan semangat tersebut melalui pelaksanaan Bulan Bakti RT Bersih yang diselenggarakan selama 1 bulan yaitu sejak 14 Juli hingga 14 Agustus mendatang di mana setiap RT wajib melaksanakan kerja bakti membersihkan lingkungannya. Hasilnya bisa kita saksikan antusiasme warga Malinau mensukseskan bulan bakti RT Bersih.
Melihat jumlah yang cukup besar ini, penulis berandai-andai, kalau saja semua Kabupaten memiliki program yang sama maka sudah tentu lingkungan masyarakat Indonesia akan bersih dengan hanya bermodalkan social capital yang selama ini terpendam. Harapan penulis dan mungkin juga semua warga Malinau, pelaksanaan RT Bersih di Kabupaten Malinau bisa menjadi pemantik bagi daerah lain untuk bangkit bersama-sama berbenah mewujudkan lingkungan yang Rapi, Tertib, Bersih, Sehat, Indah dan Harmonis.
Sudahkan anda berpartisipasi dalam Bulan Bakti RT Bersih di lingkungannya...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H