Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bingung Tak Dapat Diajar, Cerdik Tak Dapat Diikut (Zaman Bingung)

26 Mei 2020   12:23 Diperbarui: 26 Mei 2020   12:29 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bingung tak dapat diajar, Cerdik tak dapat diikut.

(Zaman Bingung)

JC Tukiman Taruna

Pengampu MK Perencanaan Pengembangan Masyarakat

Ratusan tahun lalu, ada ramalan tentang akan terjadinya zaman edan, .......barangsiapa tidak ikut edan, siapa pun tidak akan keduman (= memperoleh bagian, kecipratan rejeki). 

Banyak orang bertanya-tanya: Apakah zaman edan itu telah, sedang, dan baru akan terjadi? Jawabannya sangat longgar, dalam arti tidak seorang pun dapat menjamin kepastiannya, dan karena itu sangatlah situasional-terbuka. 

Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar dan berhasil melaksanakan sejumlah OTT kepada pejabat teras, banyak orang mengaitkannya dengan ramalan itu betapa  sedang tibalah zaman edan itu; karena itu barangsiapa tidak korupsi, ia tidak akan ikut kecipratan  rejeki. Benarkah demikian? Ternyata tidak. 

Ramalan tinggallah sebuah ramalan, dan zaman terus bergulir; yang edan ternyata dapat terlindas juga, ada juga yang tetap terus edan. Namun,  harus tetap diakui  upaya memberantas korupsi (mengejar wong edan) terus gencar dilakukan, dan hal itu membuktikan bahwa zaman edan tidak sedang/sudah terjadi.

Merebaknya wabah COVID 19 saat ini (di negeri kita ini mulai sangat jelas pada Maret 2020) disebut-sebut sebagai pagebluk, yaitu bencana yang membawaserta banyak kematian manusia, juga tidak sedikit yang sakit atau pun terjangkit, dan yang memrihatinkan ialah kapan waktu berakhirnya pagebluk ini,  masih sangat belum pasti. 

Rasanya, tepatlah menyebut saat-saat ini sebagai "zaman bingung,"  bukan zaman edan. Di dalam zaman bingung ini, aktuallah peribahasa berikut: Bingung tak dapat diajar, cerdik tak dapat diikut. Apa maksudnya?

Tentunya siapa pun setuju kalau dikatakan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak bingung mengalami pandemi COVID 19, termasuk tentu saja pemerintahannya maupun masyarakatnya. 

Semua pihak sama-sama bingung; yang berbeda hanyalah kesigapan mengatasi kebingungan itu: ada yang bisa lebih cepat, ada yang agak lambat, bahkan mungkin ada yang benar-benar kedodoran. 

Dan di dalam "zaman bingung" seperti ini, di mana pun pasti bermunculan orang-orang yang berlagak pandai, atau orang/pihak yang tidak mau mendengarkan nasehat orang lain, termasuk tidak mau mendengarkan nasehat/anjuran pemerintah. Inilah arti dari peribahasa Bingung tak dapat diajar, cerdik tak dapat diikut tersebut. 

Fakta tentang bingung tak dapat diajar, cerdik tak dapat diikut,  ini terjadi  di mana-mana; di negeri yang konon disebut-sebut adikuasa seperti USA  pun terjadi. Lalu tragisnya, semakin banyak orang/pihak berlagak pandai, semakin banyak pula terjadi pelanggaran atas berbagai peraturan. Apa yang selanjutnya terjadi? Semakin banyak orang mengalami kebingungan, maka benarlah saatnya sedang tiba, yakni saat zaman bingung.

Dahulu, ramalan tentang zaman edan dirumuskan ke dalam sebuah tembang; dan sekarang, pada saat sedang terjadi zaman bingung ini, saya ingin juga mengabadikannya ke dalam tembang Pocung berikut:

Duk pagebluk, akeh wong kang dadi bingung

Mrangguli Corona, virus bisa gawe pati.

Sing waspada, manuta marang aturan (JCTT, Mei 2020)  

Makna tembang singkat itu ialah, di saat pagebluk seperti ini, memang wajar orang-orang mengalami kebingungan, apalagi virus Corona ini bisa membawa kematian. Sikap yang terbaik dilakukan ialah tetap waspada dan taat kepada peraturan yang ada. 

Semua pihak perlu menyadari bahwa Pemerintah memiliki otoritas, hak, dan kewajiban untuk membuat peraturan; demikian halnya warga masyarakat menyandang kewajiban untuk menaati peraturan itu. Sikap taat dan patuh terhadap peraturan itulah keutamaan terbaik yang selayaknya dilakukan dan dimiliki  oleh masyarakat.  Karena itu, jauhkanlah diri kita dari bingung tak dapat diajar, cerdik tak dapat diikut.

-0-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun