Anak Ada PR, Ortu Dapat Abu HangatÂ
JC Tukiman Taruna
Penulis buku Siklus Masalah Pendidikan (Indonesia), Penerbit Buku Kompas, 2019
PR, -pekerjaan rumah- , adalah kosakata "wajib" dan pertama kali ditanyakan ortu (orangtua) kepada anaknya begitu anak pulang sekolah: "Ada PR gak?" Setelah pertanyaan itu terucap, Â nah barulah anak boleh bercerita, mengeluh, menyampaikan permintaan, atau apa pun lainnya. PR menjadi semakin berdaya magic di mulut orangtua, di dalamnya terkandung apakah itu tugas (bisa tugas individu, bisa tugas kelompok), ataukah permintaan/tuntutan guru yang harus dikerjakan anak/siswa di rumah. PR memang membikin "ambyar" orangtua: Jika anak ada PR, ortu-lah yang bakal pontang-panting, namun jika tidak ada PR, ortu juga bingung karena anaknya "tidak mau belajar."
Minimal ada dua PR yang betul-betul membikin orangtua ambyar, satu PR terkait ketrampilan, dua PR bahasa. Begitu mendengar jawaban anak  "Ada PR ketrampilan" orangtua sudah membayangkan bahan yang dibutuhkan, kapan harus dikerjakan, dan tentu saja kapan harus dikumpulkan. Semakin seru lagi, begitu mendengar jawaban anak "Ada tugas bahasa," orangtua langsung bertanya: Bahasa apa?Â
Mengapa pada umumnya orangtua begitu heboh atas PR anaknya, bahkan betul-betul pontang-panting atas PR ketrampilan dan bahasa? Kebanyakan orangtua terbebani oleh dua hal yang saling mengait berikut: pertama, PR atau penugasan harus dikerjakan sempurna dan baik karena dikerjakan di rumah dengan curah waktu lebih panjang dan dapat dibantu oleh siapa pun. Kalau hasilnya tidak baik/sempurna, ini alasan kedua, orangtua akan merasa malu di mata guru, sekolah, sesama orangtua/walimurid, dll.
"Sekolahnya saja lulusan luarnegeri, masak PR bahasa Inggris anaknya jelek?" Atas dasar dua hal inilah, -kalau mau disebut secara ekstrem- , 90 persen orangtua pasti melakukan intervensi atas PR/tugas-tugas anaknya. "Malu ah kalau jelek."
Intervensi orangtua terhadap PR anaknya sangat bermacam-macam: Ada orangtua yang langsung ambil alih pekerjaan itu daripada lama, makan hati; Â dan anak tinggal menyalin atau apalah. Ada juga orangtua yang meminta tolong (mengupah?) orang lain untuk mengerjakannya; tetapi ada juga orangtua yang harus (selalu?) berantem dulu dengan anaknya manakala menyelesaikan PR/tugas. Â Â
Ketika hasil ketrampilan atau PR/tugas anak mendapatkan nilai bagus dari guru, justru pihak orangtualah yang pertama-tama bangga menepuk dada, bahkan mungkin tanpa sadar pamer-pamer hasil itu kepada orang lain.
Di tengah kebanyakan orangtua merasa kesulitan menghadapi atau menyelesaikan PR bahasa Inggris anaknya; orangtua manakah yang tidak bangga  bahkan mungkin pamer-pamer ketika hasil tugas bahasa Inggris anaknya mendapatkan nilai terbaik, dapat pujian dari guru, dsb. Pasti bangga, dan kalau ada orangtua lain yang tidak bangga terhadap (prestasi) anaknya, justru patut dipertanyakan: Orangtua macam apakah Anda ini?
Di dalam rasa bangga yang sedang membuncah  semacam itu, memang kebanyakan orangtua lupa atas intervensinya selama ini. Ketika ada orang/pihak lain menggoda seraya bertanya: "Kau yang buat kan tugas bahasa Jawa anakmu itu?" nah ........... abu hangat seolah-olah terlempar ke wajahnya, panas dan kotor pasti.  Orangtua yang bersikap santai dan fair, sambil guya-guyu akan berkata: "Hoo...oh!!" Namun orangtua yang pas sedang sangat sensitif, bisa jadi  menjawab penuh pembelaan diri: "Aku cuma mengarahkan begini, begitu, selanjutnya anak sendiri mengerjakannya." Pasti ada juga orangtua yang berkilah bahwa anaknya diikutkan les bahasa Jawa ke budayawan kondang; atau ada juga jawaban bahwa dibantu oleh kakaknya, dsb.