Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pejabat-pejabat Geregetan

28 April 2020   07:19 Diperbarui: 28 April 2020   07:35 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tukiman Tarunasayoga (JC Tukiman Taruna)

Pengajar pascasarjana, MK Community Development Planning

Atas nama "melayani rakyat/masyarakat" tidak mustahil ada saja pejabat yang (harus) marah-marah, dan marah-marahnya itu bisa terjadi secara horizontal-lokal saja, seperti marah-marah kepada jajarannya; namun bisa juga skalanya vertikal-interlokal seperti misalnya bupati marah-marah kepada menteri; bisa juga walikota "ngedumeli" presiden. Apabila marah-marah itu dirunut ke belakang dengan pertanyaan: "Mengapa sih harus marah-marah begitu?" pasti jawabannya tunggal, yakni geregetan.  

Tentu lalu bisa ditanyakan lagi: "Mengapa geregetan?" Nah, ini dia: Maksud hati mau cepat-singkat-langsung target melayani masyarakat yang diabdinya, koq ternyata banyak hambatan. Dalam skala horizontal-lokal ada saja kepala dinas yang geraknya lamban misalnya, atau langkah eksekusinya melenceng. Dalam skala vertikal-interlokal, pejabat itu merasa birokrasinya bertele-tele menyulitkan, data tidak sinkron, dan lain sebagainya.

Sumber terjadinya ketidaksabaran para pejabat (daerah) dan berujung ke geregetan (baca: marah-marah mulu), menurut saya ada tiga, yakni (a) pemaknaan otonomi daerah yang tidak lentur, (b) tidak sinkronnya data pusat--daerah , dan (c) respons atau permintaan masyarakat yang berlebihan. 

Pemaknaan otonomi daerah yang "masih tertatih-tatih di sana-sini," sangat boleh jadi dapat disebut sebagai awal mula pemicu geregetan. Meskipun secara regulasi dan pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup lama berlangsung, namun silih-bergantinya pejabat daerah (setiap lima tahun) sangat memungkinkan makna substansial otonomi daerah disikapi sangat kaku di satu sisi, mungkin saja di sisi lainnya justru sangat lentur. 

Cara menyikapi substansi otonomi daerah oleh pejabat (daerah) berkorelasi dengan perangainya menjabat: Ada yang relatif abai terhadap pusat; contohnya tiba-tiba mengumumkan kebijakan lockdown untuk masyarakat di wilayah kekuasaannya; ada juga yang pelesiran ke luarnegeri tanpa ba...bi....bu ke pusat. Ada juga yang akomodatif dengan pusat ketika "ada maunya." Berbagai perangai menjabat semacam itulah dapat "meledak" menjadi geregetan ketika ada desakan-desakan masalah pelayanan publik.

Ketersediaan data di pusat dan daerah yang (sering????) tidak sinkron, rasanya menjadi pemicu utama munculnya berbagai geregetan baik di pusat maupun di daerah.

 Ada banyak faktor penyebab terjadinya ketidaksinkronan data, dan hal itu dapat menimbulkan masalah baru nan pelik ketika dari pusat ada program ke daerah. Karena ini program pusat, tentu pemegang kendali ada di pusat, data yang dipakai atau diacu tentu data yang dimiliki oleh pusat, sementara data di daerah sangat boleh jadi berbeda dari data yang diacu pusat. Meledaklah geregetan ...........dorrrrrrrrr............. dan karena setiap pejabat memiliki perangai menjabat sendiri-sendiri, ungkapan geregetannya juga  bermacam-macam.

Pejabat daerah selalu berkilah (wajarlah) betapa dia berada di ujung terdepan yang langsung berhadapan dengan masyarakat yang diabdi dan dilayaninya; sementara itu respons atau tanggapan masyarakat, -lebih-lebih kalau ada program pusat- , sangat bermacam-macam. Tuntutan masyarakat (yang macam-macam) sangat sering membikin pusing tujuh keliling pejabat daerah, maka tidaklah  mengherankan kalau terjadi ledakan geregetan ........dorrrrrrrrr ........lagi. 

Tiga pemicu-peledak geregetan, -pemaknaan otonomi daerah, sinkronisasi data, dan tuntutan masyarakat- , adalah pengukur termudah apakah pejabat itu berkualitas atau tidak. Tegasnya, Anda adalah pejabat berkualitas kalau dapat menyelesaikan dengan baik tiga pemicu ledakan ini, sebaliknya Anda hanya akan berkutat dengan perangai menjabat saja, dan itu berarti tidak termasuk pejabat berkualitas.

-o-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun