Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tergesakah Keputusan Pindah Ibu Kota?

29 Agustus 2019   09:00 Diperbarui: 29 Agustus 2019   09:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tukiman Tarunasayoga (JC Tukiman Taruna)

Pengajar pascasarjana mata kuliah Community Development Planning

"Setelah diputuskan, bermunculanlah komentar mementahkan," begitulah kira-kira ungkapan paling tepat untuk menggambarkan reaksi masyarakat terhadap sebuah keputusan. Ada  banyak contoh menunjukkan bahwa justru setelah diambil sebagai sebuah keputusan, reaksi 

"mementahkan/menolak" sangat bergema, padahal ketika hal itu diwacanakan, banyak pihak kurang gairah menanggapi. Perihal "pindah ibu kota" sebenarnya sudah menjadi wacana publik, -sebutlah relatif telah berbulan-bulan (bertahun-tahun?)- , namun begitu keputusan diumumkan, reaksi 

"mementahkan/menolak" membahana. Kita simak bersama berbagai reaksi itu: (i) ada yang mengatakan "lari dari kenyataan,"; (ii) pengalihan isu; (iii) sangat tergesa-gesa; (iv) "memangnya EGP?"; (v) sangat tidak mungkin karena payung hukumnya belum/tidak ada; (vi) mengapa diputuskan sendiri tanpa dibahas dulu dengan legislator; dan berbagai reaksi lainnya.

Atas berbagai reaksi yang cetar membahana itu, ada dua pertanyaan saya, berikut: Pertama, mengapa kajian/analisis atau pun pendapat-pendapat tadi tidak dilontarkan ketika wacana pindah ibu kota digulirkan? 

Kedua, dari sekian banyak pemberi komentar "mementahkan/menolak" itu, pastilah pernah atau bahkan sedang menjabat: Bagaimana rasanya bila suatu hal telah Anda putuskan sesuai kapasitas jabatan Anda, namun keputusan itu dimentahkan/ditolak justru oleh pihak-pihak yang seharusnya mendukung?  Jawaban atas dua pertanyaan itu rupanya bermuara di sini: Tidak mengira akan secepat itu keputusannya! Tergesa-gesakah?

Di bangku perkuliahan sesuai mata kuliahku, dalam konteks Perencanaan Pengembangan Masyarakat (community development planning/CDP) saya tidak pernah bosan mengulang-ulang "kata mutiaraku": ini: Dalam perencanaan selalu ada dua kelompok masyarakat,, yaitu kelompok SM (sabar menanti), dan kelompok XL (exstra langkah). Termasuk kelompok SM adalah mereka yang bersikap adem-ayem-diem dan inginnya berlama-lama di fase-fase perencanaan; sebaliknya kelompok XL ingin cepat sampai ke eksekusi agar tidak kehilangan momentum dan karena itu tidak perlu berlama-lama.

Konsep utama CDP ada dalam alur pikir ini: Berawal di Proses ke Metode, lalu ke Program, dan selanjutnya ke Gerakan. Saya sering menyingkatnya PMPG (proses-metode- program-gerakan). Maksudnya, semua perencanaan selalu harus menempuh PMPG ini, dan fase paling krusial ada di proses. Mengapa? Banyak orang tidak sabar di fase proses ini; dan dalam konteks perencanaan pindah ibu kota, hendaklah semua pihak menyadari bahwa fase sekarang ini adalah fase proses. Hendaklah semua pihak sabar dalam arti beri waktu selama memasuki fase proses ini. Kalau belum ada payung hukumnya, mari kita beri waktu untuk menyusun payung hukum oleh pihak-pihak yang memang kompeten. 

Fase proses adalah fase "ujian berat" (termasuk komentar mementahkan/menolak) terutama bagi eksekutor, akan tetapi apabila fase proses ini berhasil dilalui dengan baik (juga penuh kesabaran), fase program dan gerakan nantinya pasti akan lancar, cepat, dan bebas hambatan. Aspek paling menentukan sukses di fase proses adalah metode tepat yang diterapkan oleh eksekutor. Kepada Bapak Presiden dan Wapres, serta semua Menteri, tentukanlah metode tepat dan cermat untuk fase proses pindah ibu kota yang telah menjadi keputusan itu. Selamat berproses Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun