Menggungat UN
Aan Frimadona Roza
Mahasiswa 2013 Pascasarjana Pendas IPS Universitas Negeri Malang
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
(Bait sajak Rendra, sajak sebatang lisong)
Kutipan sajak WS Rendra sengaja awalan dari tulisan ini atas prahara yang selalu terjadi setiap pelaksanaan Ujian Nasional di negeri yang kita cintai ini.
Selasa, 20 Mei, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengumumkan hasil Ujian Nasional pada jenjang SMA/SMK/MA sederajat. Luapan kegembiraan pun tak luput diekspresikan dengan berbagai cara; ada yang melakukan dengan pekik kegembiraan berjingkrak suka cita,ada yang mengungkapkan sujud syukur, aksi coret-coret bahkan dengan melakukan konvoi mengunakan kendaraan roda dua tanpa menghiraukan ketertiban lalu lintas di jalan raya. Begitulah fenomena aksi anak kita yang notabene peserta UN dalam merespon hasil ujian yang hampir tiap tahun rutin dilakukan, itu sebagian dari 2.795.694 peserta ujian nasional jenjang SMA/SMK/MA sederajat yang lulus tahun ajaran 2013/2014 dari total 2.804.659 peserta ujian.
Lalu bagaimana dengan anak kita sejumlah 8.970 dari total peserta ujian 2.804.659? Bagaimana pula ekspresi mereka menyikapi pengumuman kelulusan kemarin? mereka adalah siswa yang tidak lulus Ujian Nasional. Pembayangan kita tentang mereka sangat memprihatinkan, yang jelas ada gambaran dengan raut kesedihan yang begitu mendalam, prasaan bersalah, takut pada orang tua akibat ketidakmampuan, malu, marah dan menangis sejadi-jadinya bahkan bertindak diluar akal pikiran sehat mereka dengan melampiaskan dengan bentuk-bentuk kekerasan yang merugikan orang lain atau diri sendiri, bunuh diri misalnya.
Ironi memang, dari sebuah hajat besar pendidikan yang bernama Ujian Nasional (UN) dan perestiwa-perestiwa sosial di belakangnya yang meninggalkan dampak cukup mengerikan bagi seusia mereka yang masih dikategorikan sebagai anak.
Stres dan trauma serta prilaku diluar kewajaran bukan saja terjadi sesudah UN tetapi sebelum UN.
Dampak psikologis pada murid akan pelaksanaan UN juga memberikan perasaan takut atau beban moral yang berlebihan, tekanan dari orang-orang terdekat dan daya kerja tubuh dengan porsi yang tidak berimbang antara daya kerja otak dan daya fisik melahirkan ketidakpedulian akan asupan gizi pada tubuh imbasnya serangan bakteri yang berbuah sakit, kerap terjadi, adanya siswa tak ikut ujian karena tergolek lemah disebuah rumah sakit itu hal yang lumrah kita biasa lihat.
Lolos dari jerat persoalan individu baik fisik dan mental anak untuk mengikuti Ujian Nasional murid dihadapkan pada butir soal yang cukup menguras otak anak bagaimana materi yang diajarkan pada mata pelajaran yang di UN kan memiliki tingkat kesulitan yang diluar kemampuan anak.
Hal ini terungkap dari jejaring sosial beberapa waktu lalu kicauan pada twitter Bapak M.Nuh, mentri pendidikan dan kebudayaan beberapa hari sebelum pelaksanaan UN Muncul analisis bahwa penurunan nilai rata-rata UN tersebut disebabkan oleh adanya model soal matematika dan IPA yang berlevel internasional, seperti standar PISA (The Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study). Model soal tersebut baru diberitahukan kepada publik. Akibatnya timbul protes para peserta UN. Bahkan kita agak tercengang pada pemberitaan media sosial dan surat kabar kita, adanya ulah seorang peserta UN yakni Nurmillaty Abadiah, SMA Khadijah Surabaya yang menulis surat terbuka kepada Menteri Nuh dan menantangnya untuk duduk dan mengerjakan soal matematika bersamanya tanpa melihat buku maupun Internet. Jika Mendikbud bisa menjawab benar lima puluh persen saja, beliau pantas diakui menjadi Menteri Pendidikan.