Konon surat terbuka siswi atas nama Nurmillaty Abadiah itu telah menimbulkan kehebohan tersendiri, bahkan prahara baru dalam dunia pendidikan. Mendikbud sempat ragu surat terbuka tersebut ditulis oleh seorang siswi SMA, padahal senyatanya ditulis oleh seorang siswi SMA yang merasa frustrasi mengikuti UN, karena soal-soal yang dipelajari berbulan-bulan, termasuk ikut bimbingan belajar, tidak keluar. Masalahnya, soal UN mengikuti model PISA yang terlampau sulit untuknya.
Bukan perestiwa itu saja dunia kependidikan dan masyarakat dibuat heboh juga dengan adanya salah satu soal UN mata pelajaran Bahasa Indonesia yang memuat nama dari salah satu capres dan memang pergolakan politik di negeri ini makin memanas karena tahun 2014 ini bertepatan dengan hajat nasional bangsa yakni Pemilu dan Pilpres, sangat naif sekali kalau itu dilakukan dengan maksud dan tujuan mempolitisasi UN dengan kepentingan politik kelompok tertentu pada anak kita yang belum saatnya untuk diseret ke ranah politis.
Data dari Kemendikbud Tahun ini tingkat kelulusan menurun dibandingkan tahun lalu. Dari 2.795.694 murid yang lulus atau 99,52 persen untuk SMA/MA dan 99,90 persen untuk SMKÂ turun 0,01 persen dari tahun lalu yakni 99,53 persen untuk SMA/MA dan 99,94 persen untuk SMK. Penetuan kreteria kelulusan di lihat dari nilai UN dan nilai rapor atau nilai sekolah dengan komposisi 60 persen dan 40 persen. Peserta ujian tidak lulus jika nilai rata-rata akhir 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran 4,0.
Dari hasil pelaksanaan UN jenjang SMA/SMK/MA tahun ini juga persoalan makin membuat kita terenyuh dan duka bagi dunia kependidikan kita secara vulgar dibanyak tempat, soal UN betul-betul bocor. Semisal di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 70 kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN untuk dibocorkan kepada siswa ketika pelaksanaan UN, artinya ini mengindikasikan adanya tingkat kesulitan pada setiap butir soal pada pelaksanaan UN disamping cerminan prilaku yang tidak terpuji dan sebuah tindakan yang melanggar hukum.
Jelas UN menciptakan persoalan yang rumit harus kita sadari adanya kesenjangan kualitas pendidikan yang tidak merata antara satu daerah dan daerah lain terkesan memaksa untuk menutupi ketidakmerataan kualitas pendidikan kita. Asumsinya UN bukan menjadi patokan perbaikan kualitas pendidikan tetapi justru memperlebar kesenjangan dengan berbagai dampak sosial lainya.
Sekolah di Rebang Tangkas, sebuah kecamatan di kabupaten Waykanan tak sama dengan Jakarta yang asupan pendidikan bernilai gizi tinggi tapi pelaksanaan UN sama ini tentu bermasalah dan hasilnya berbeda. Nilai UN tidak bisa obyektif karena adanya perbedaan standar proses, guru (tenaga kependidikan), sarana dan prasarana, pengelolaan, serta standar pembiayaan antara daerah satu dan daerah lain. Karena itu, UN laiknya dihentikan!, Banyak cara lain yang bisa dilakukan sebagai penentu kelulusan tanpa mengurangi akan kualitas pendidikan, Ki Hajar Dewantara pernah berujar bahwa tujuan pendidikan itu memanusiakan manusia, semoga kita tidak sesat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H