Jakarta Kamis, 17 Maret 2011, belum genap tiga jam saya menikmati buaian lelap, pukul empat tiga puluh pagi saya bergegas terbangun. Hari ini saya mesti menuntaskan pengambilan gambar testimoni Gilang Ramadhan mengenai Mahakarya Indonesia. Pagi itu, Agus sopir kantor sudah bersiap untuk berangkat. Tepat Pukul lima pagi kami berangkat menuju alamat tertera dilayar telepon selular, alamat rumah Gilang Ramadhan yang saya terima melalui pesan singkat dari manajernya. Tak lupa saya menjemput rekan satu tim di kawasan Pejaten, senandung pagi menemani setiap gerak kami sebagai bagian dari pekerjaan yang ditugaskan, dengan sedikit menahan lelap dan kantuk tentunya.
Ternyata pesan singkat mengenai alamat tidaklah cukup lengkap untuk menaklukan luasnya tanah Bintaro, sehingga Agus yang lahir dan dibesarkan di Jakarta tampak sedikit frustasi. Namun tidaklah baik kita larut dalam putaran-putaran kawasan Bintaro yang ruas-ruas jalannya nyaris mirip. Dengan senyum yang penuh teka-teki, kami menyeduh kopi dan kue pancong di pinggir jalan sambil menanyakan arah menuju Pondok Kacang. Sehubungan dengan kebingungan-kebingungan dan tidak adanya jawaban dari nomer telefon yang saya hubungi, maka saya dan rekan-rekan bersenda gurau mengenai “ketersesatan”. Hingga akhirnya saya berhasil menghubungi Gilang Ramadhan dan mendapat penjelasan rute menuju rumahnya, “rumah saya ada pos gasebonya” demikian tutup Gilang. Kami mengikuti petunjuk yang dijelaskan, meskipun beberapa kali sempat salah belok dan salah berhenti , akhirnya kami sampai di sebuah rumah dengan pos gasebo, dan setelah gerbang dibuka lebih tepatnya lagi yaitu sebuah rumah dengan pos gasebo, Gerobak Gado-gado dan Karedok, sebab begitulah yang tersaji di halaman rumah Gilang Ramadhan.
Gilang pun menyambut kami, “gimana susah nggak nyarinya”? Tanya Gilang, saya spontan menjawab “mestinya ditambah keterangan petunjuk Gado-gado dan Karedok”. Sebuah awalan testimoni yang cukup berliku namun sangat berkesan. obrolan berlanjut, saya bercerita panjang lebar kepada Gilang ramadhan mengenai testimoni Mahakarya Indonesia, bagaimana program ini bertujuan untukmengingatkan kembali pentingnya menghargai segala bentuk kekayaan karya yang lahir dari bangsa Indonesia. Sembari menunggu rekan-rekan mempersiapkan seting pengambilan gambar, saya dan Gilang Ramadhan memulai sebuah diskusi mengenai Mahakarya Indonesia, berbicara banyak mengenai perjalanannya dalam menemukan warna ritme khas Indonesia yang merupakan hasil pencariannya selama dua puluh tahun.
Gilang Ramadhan, sejak lama sudah sangat akrab dengan lingkup kemajemukan karya yang berakar dari keluarganya . Ia telah begitu dekat dengan pelukis ternama Indonesia seperti Afandi, Popo, Srihadi. Sementara di sisi yang lain Ibunya sebagai seoarang diplomat, membawanya berpindah dari satu negara ke negara yang lain memperkenalkan kepada kemajemukan ragam warna budaya dunia. ia telah mempelajari banyak hal yang berhubungan dengan musik, menggesek biola hingga jemarinya sibuk berlarian diatas tuts piano. Pada akhirnya ia fokus untuk memilih drum atau perkusi sebagai identitas jati dirinya.
Obrolan saya mengalir dari satu cerita kepada cerita yang lain. Cerita yang membuat saya jadi memahami bahwa setiap perjalanan dan pencapaian adalah proses yang harus terus diasah. Sebuah kisah yang membuat rekan-rekan kerja saya nampak serius menyimak sembari menyeduh kopi dan teh yang disajikan.Gilang bertutur mengenai perjalananya menemukan unsur-unsur bebunyian asli Indonesia. Sebuah pilihan yang menjadikannya punya kekhasan tersendiri dijajaran musisi dunia, memainkan beragam jenis warna musik yang disadur dari kekayaan ritme perkusi bumi Indonesia.
Jauh sebelum bebunyian ini menjadi begitu akrab dikalangan penggebuk drum dunia, sosok Gilang Ramadhan lekat dengan pencarian jati diri mengasah kemampuan musikalitas tanpa batas. Berkelana dari satu negara ke negara yang lain, mengenal dan mengolah harmonisasi ketukan jazz, rock, pop dan beragam genre, hingga ia begitu dikenal sebagai seorang drummer yang kaya dengan intelektualitas dan intelegensia warna musik , kekayaan warna inilah yang memuluskan jalannya di jalur industri musik Indonesia dan manca negara. Tentunya ini bukan merupakan tujuan puncak seorang Gilang Ramadhan karena ia berkeinginan mengenyam proses untuk dikenal sebagai musisi yang memiliki karakter serta eksplorasi terhadap unsur-unsur kekayaan musik, berbagi dan menyampaikan pesan-pesan musik menularkanya dari satu orang kepada orang lain, sebagai sebuah bebunyian yang menghubungkan dan sarat makna.
Di tengah pencariannya Gilang mendapat sebuah masukan yang merubah segalanya, salah seorang rekannya menyampaikan kepadanya sebuah ungkapan : Gilang, you should go home !, find your self ! – Kamu harus pulang, dan temukan diri kamu !, Ungkapan singkat yang begitu dalam, pulang bukan berarti sekedar pulang ke Indonesia, melainkan pulang untuk menemukan jati diri sebagai orang Indonesia. Sejak saat itu Gilang mulai mengeksplorasi dan memahami makna setiap bebunyian ritme dari ujung Sabang Hingga Merauke, memainkan jenis ritme yang kemudian dikenal luas sebagai Rhytm Sawah (Ritme Sawah), sebuah nama yang ilhami dari filosofi Indonesia, dimana kehidupan masyarakatnya yang harmonis dan lekat dengan kesederhanaan yang bersumber dari sawah. Masyarakat Indonesia yang seolah tak boleh terpisah dari keberadaan sepiring nasi. Sawah yang lekat dengan harmoni dan bebunyian yang menentramkan, menenangkan dan menghidupi.
Seringkali musisi asing, terkejut dan menanyakan kepada Gilang dari mana ia memperoleh semua bunyi dan ritme ini?, dari Indonesia , disana banyak, dari ujungAceh hingga Papua, Gilang menjawab sembari tidak lupa untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia. Seringkali ia merasa seperti duta bangsa yang harus aktif memperkenalkan betapa luasnya wilayah Indonesia. Hal-hal ini menjadikanya lebih bersemangat dan bermimpi untuk membaginya kepada setiap orang yang ditemui .
Tak berapa lama proses pengambilan gambar dimulai Gilang menampilkan sebuah sajian ritme yang menenggelamkan kami dalam bebunyian Indonesia. Satu hal yang berbeda dari perangkat drum modern yang dimainkannya adalah adanya instrumen khusus yang diambil dari instrumen musik gamelan Sunda yaitu Kecrek dan Kenong. Ketika saya diundang ke berbagai negara, mereka mampu menyiapkan segala bentuk seting drum dengan kelengkapan instrumen yang saya minta, kecuali dua hal yaitu Kecrek dan Kenong, demikian tutur Gilang. Dua instrumen yang sangat lekat dengan dirinya karena dia berdarah Sunda,namun instrumen-instrumen ini juga mewakili bebunyian khas yang hanya ada di Indonesia dan tak tergantikan. Kamipun harus terpingkal, ketika ia bercerita mengenai bagaimana musisi asing susah untuk melafalkan bunyi ritme : “Tung Tak Tung Blung, Kecrek KenongKecrek Kenong” sebagai sebuah syarat dari Gilang untuk memeperkenalkan kepada mereka, bahwa sebuah ritme yang baik harus diawali dengan pelafalan yang benar.
Tiga jam berlalu setelah bebunyian yang sarat akan warna ritme Indonesia, kami disambut oleh sajian yang sangat khusus, sepiring Gado-gado dan Karedok. Sesuatu yang tidak kami bayangkan sebelumnya, disebuah rumah seorang musisi legendaris yang mendunia, terparkir gerobak Gado-gado dan Karedok. Sembari bersantap saya berusaha memahami dan menyimpulkan bahwa seorang Gilang Ramadhan, benar-benar telah pulang dan menemukan rumah yang sesungguhnya, bernaung dalam jati diri yang sebenarnya sebagai orang Indonesia. Ritme sawah yang ia mainkan dan atmosfer berputar diantara Gado-gado dan Karedok yang disajikan membuat saya berbangga telah di hantarkan untuk mengenal sisi lain menjadi Indonesia, membuat saya bertekad tidak akan lupa untuk selalu pulang !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H