Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

IPT 65 di Antara Kepungan Empat Kelompok

18 Agustus 2015   22:46 Diperbarui: 18 September 2017   00:05 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lestari, keluarga korban kekerasan peristiwa 1965 asal Blitar, Jawa Tengah, saat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Selasa (17/1/2012).

Beban psikologis ini perlu diapreasi dan didialogkan secara bersama, agar prasangka semakin terkikis, dan rekonsiliasi pun menjadi sesuatu yang lebih konkrit serta bertenaga. Ujungnya, penyatuan ini akan bergerak mendorong negara memenuhi keadilan yang telah lama raib secara lebih bermartabat, yakni meminta negara secara konkrit bertindak menyangkut tiga hal; mengungkap kejujuran sejarah 1965, menghentikan impunitas pelaku (militer) melalui upaya hukum, dan memberikan reparasi bagi Korban.

Harus disadari sejak awal, upaya ke arah sana bukanlah hal mudah. Kekuatan-kekuatan antirekonsiliasi akan terus bergerak memadamkan ikhtiar mulia tersebut, dengan dukungan faksi garis-keras di militer dan kelompok Islam radikal-kanan. Mereka bertiga akan menggunakan segala cara agar faksi rekonsiliasi -baik konservatif maupun moderat- tidak menyeberang ke kubu progresif. Dalam upaya berebut pengaruh ini, jujur saya katakan, tiga kelompok tadi bisa dikatakan relatif berhasil mengkarantina faksi konservatif dan moderat agar tetap resisten terhadap gagasan IPT. Bahkan saat ini, mereka telah mulai meransek ke faksi progresif, pelan-pelan melucuti pendukungnya agar tidak lagi setia terhadap tiga tuntutan tersebut

Semakin kelompok rekonsiliasi-progresif memilih absen memperkuat komunikasi dengan 3 kelompok lain, maka peluang meraih dukungan akan semakin mengecil. Lantas, bagaimana cara membangun komunikasi dengan para elite di organisasi yang masih berciri feodal? Mudah. Kuncinya adalah silaturahmi, dalam rangka menjelaskan persoalan secara utuh, tanpa pretensi untuk saling menjatuhkan. Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam menggalang dukungan banyak pihak, diperlukan juga kekukuhan pendirian, serta keberimbangan dalam ngemong para pihak yang terlibat,

Gus Dur -saya kira- merupakan contoh kecil dari sedikit yang bisa dijadikan marja’. Dalam pemerintahannya yang begitu cepat berlalu, dia telah meletakkan model dasar -ideal- dalam membangun kerangka kerja pembelaan Kasus 65 -dari perspektif pemimpin formal (presiden) yang berasal dari organisasi yang tangannya dianggap berlumuran darah.

Misalnya, dia kukuh bersetia pada kemanusiaan dan keadilan; mengakui kesalahan organisatorik dan mendukung upaya keadilan bagi siapa saja yang merasa jadi Korban. Terhadap TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menganggap regulasi tersebut layaknya slilit regulatif yang harus dicungkil. Pendirian tersebut tidak lantas menyurutkan langkah Gus Dur mengkomunikasikan gagasannya ke banyak pihak, termasuk kepada elit organisasinya sendiri, meski tidak banyak mendapat dukungan. Posisinya yang kurang menguntungkan tersebut nampak semakin ‘terpuruk’ tatkala -di lain pihak- dirinya mendapat cibiran keras dari Pram terkait permintaan maafnya, juga pada saat beberapa korban 65 malah justru menuntutnya ke pengadilan – bersama dengan para mantan presiden lainnya. Sikap Gus Dur? Dia tidak patah arang. Dua kali dia mengunjungi rumah Pram –dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI- untuk mencairkan kebekuan. Gus Dur juga meresmikan sebuah panti jompo yang dihuni oleh penyintas 65, dan memberikan kata pengantar pada bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI.

Saya melihat IPT 1965 merupakan upaya meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur, terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan. Yang saya heran, kenapa Gus Dur begitu percaya diri mendukung pengungkapan Peristiwa ini melalui ranah hukum –padahal semua tahu organisasinya ikut terlibat aktif, terutama di Jawa Timur? Bukankah secara politik langkah ini mengesankan ia tengah menyerahkan leher organisasinya untuk ditebas?

Saya menduga, terdapat dua kemungkinan kenapa Gus Dur memilih laku tersebut. Pertama, sangat mungkin dia tengah mempraktekkan apa yang pernah ia katakan, ‘melanggar hak hukum seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup menjadi seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan bahwa apa yang salah adalah salah dan apa yang benar adalah benar, terlepas dari kita menyukainya atau tidak.” Kedua, barangkali Gus Dur meyakini jika mekanisme hukum justru akan membuktikan bahwa organisasinya memang dalam kategori korban. Lebih jauh, sangat terbuka kemungkinan dia tengah mempercayai bahwa rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kepastian hukum, yang secara simultan disusuli dengan pemaafan kolektif, pengungkapan kebenaran sejarah, penghentian diskriminasi, dan pemberian reparasi bagi korban. Wallohu a’lam.

 

Jombang, 11 Ramadhan 2015

-------------

* dipublikasi pertama kali di http://kontrassurabaya.org/diskursus/ipt-65-diantara-kepungan-4-kelompok/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun