Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

IPT 65 di Antara Kepungan Empat Kelompok

18 Agustus 2015   22:46 Diperbarui: 18 September 2017   00:05 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EMPAT FAKSI
Dalam dinamikanya, terdapat 4 faksi besar di organisasi saya dalam menyikapi Peristiwa 65. Faksi pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama, PKI adalah satu-satunya dalang G30S. PKI dan pengikutnya harus terus dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan setimpal atas perilaku mereka selama ini, terutama saat pecah Peristiwa Madiun 1948. Berbagai  analisis/tafsir historis – seperti yang dikemukakan Anderson, McVey, Wertheim, Robinson, Cribb, dll- yang menunjukkan adanya kemungkinan dalang lain harus ditolak.

Kedua, pelaku (militer – sipil) telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan NKRI dan umat Islam waktu itu, yang bahkan mereka (pelaku) seharusnya mendapatkan penghargaan karena membela Negara. Oleh karenanya pelaku tidak perlu meminta maaf. Ketiga, mengkampanyekan antikebangkitan PKI merupakan tugas suci yang harus digelorakan terus menerus.

Keempat, sejarah tidak perlu diluruskan karena dianggap sudah benar. Membincang ulang peristiwa 1965-66 dianggap membangkitkan memori lama yang bisa berujung pertumpahan darah lagi. Kelompok ini juga menuding para-pihak yang membantu Korban 65 sebagai bagian dari kospirasi yang digerakkan oleh luar negeri untuk menghancurkan Indonesia dan Islam. Para-pihak ini dianalogikan sebagai si Penebang kayu dalam cerita Penebang Kayu dan Serigala.[3]

Kelompok kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi rekonsiliasi-konservatif meneguhkan keyakinannya pada hal-hal berikut. Pertama, menyesalkan terjadinya Peristiwa 1965, namun demikian masih meyakini PKI mengkhianati negara, dan sebagai satu-satunya dalang Peristiwa G30S. Sejarah tidak perlu diluruskan. Upaya hukum bagi pelaku tidak perlu dilakukan. Begitu juga dengan berbagai regulasi antikomunis; tidak perlu dicabut.

Kedua, Peristiwa 65-66 perlu dipahami sebagai konflik horizontal yang menempatkan PKI dan masyarakat sipil sebagai korban, oleh karenanya TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI karena hanya akan membawa bangsa ini melangkah mundur. Ketiga, Negara tidak perlu minta maaf. Meski demikian jika PKI berkehendak minta maaf, organisasi saya –menurut faksi ini- siap memaafkan. Keempat, mempercayai rekonsiliasi di level akar rumput telah berjalan secara alami, dan tidak perlu diselebrasi karena justru akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi rekonsiliasi itu sendiri. Prinsipnya, silence will heal. Kelima, upaya menggaungkan kembali Peristiwa 1965 dengan mencitrakan PKI seolah sebagai Korban merupakan bentuk provokasi[4] dan upaya mengadu domba, yang oleh karenanya perlu dilawan.

Faksi rekonsiliasi-moderat meyakini bahwa; 1) masalah utama Peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan underbouw-nya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Organisasi saya dan PKI merupakan korban keadaan. Non-state-actors tidak dapat menghindar dari instruksi tentara. Opsi yang tersedia adalah membunuh (PKI) atau dibunuh (karena dianggap PKI). Mereka harus saling memaafkan. Meskipun keterlibatan PKI sangat jelas dalam Peristiwa G30S NAMUN mereka bukan satu-satunya dalang. Sejarah G30S perlu diluruskan berbasis fakta persidangan dan memberikan kesempatan masyarakat  untuk menilainya sendiri. 2) Negara perlu meminta maaf kepada Korban BUKAN kepada PKI. 3) Proses rekonsiliasi harus terus dilakukan bertumpu pada ketulusan, kejujuran, keterbukaan, dan mensyaratkan luruhnya prasangka, serta dibincang secara terbuka dengan melibatkan semua pihak. Pada titik ini, Negara harus merehabilitasi para Korban dan memastikan tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. 4) Konstitusi memberikan jaminan hak kemerdekaan berpikir dan menyatakan pikiran. Oleh karenanya, Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dianggap tidak lagi compatible saat ini, meski pencabutannya perlu menuggu momen yang tepat. Namun demikian kelompok ini masih keberatan PKI berlaga kembali dalam kancah politik nasional. Keberatan ini juga berlaku terhadap munculnya partai baru yang akan melakukan cara-cara sebagaimana PKI, dan (5) penyelesaian secara hukum -dengan mendakwa state-apparatus saat itu- akan sia-sia, sebab banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Upaya ini dianggap tidak sebanding dengan kegaduhan politik yang justru akan menimbulkan gelombang-balik menghantam para Korban.

Sedangkan yang terakhir adalah Faksi rekonsiliasi-progresif. Kelompok ini dengan sadar mengakui keterlibatan militer dan organisasi saya. Oleh karenanya, kelompok ini secara terbuka mengakui kesalahan, meminta maaf dan ikut terlibat aktif menyuarakan keadilan bagi korban, sembari terus menggalang rekonsiliasi dengan semua pihak. Lebih jauh, bagi kelompok ini, jika Peristiwa G30S dibuka kembali maka akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Oleh karena itu biarlah pengadilan yang akan menentukan mana yang benar[5]. Pun, regulasi yang masih bersifat diskriminatif menyangkut Peristiwa ini perlu dicabut, tidak terkecuali TAP MPRS XXV/1966 MPRS. Kelompok ini berpandangan konstitusi tidak melarang ideologi apa pun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya)[6]. Proses perumusan Tap MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan jikapun ia secara politik bersalah[7]. Secara tajam, kelompok ini menuding TAP MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam nafsu (kekuasaan), dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri.”[8]

KELUAR DARI KEPUNGAN
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan menyangkut Peristiwa 65 merupakan hal lumrah, sepanjang tidak digunakan untuk membungkam yang lain, apalgi menghalangi siapapun menuntut apa yang menjadi haknya. Mencermati 4 peta kelompok di atas, sangat jelas IPT menghadapi tantangan serius dari kubu antirekonsiliasi, rekonsiliasi-konservatif, dan faksi rekonsiliasi-moderat. Ketiganya berpandangan IPT merupakan upaya lancang yang tidak hanya akan menambah kekacauan situasi yang sudah ‘kondusif’, namun juga secara nyata berintensi membangunkan macan tidur. Saya mebayangkan terdapat dua pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh IPT 65. Pertama, meminimalisasi kesalahpahaman dengan kelompok-kelompok kontra-IPT 65, terutama tiga kelompok tersebut di atas. Kedua, meyakinkan mereka bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial merupakan masa depan terjadinya rekonsiliasi yang sebenarnya.

Akan tetapi, bagaimana mungkin ketiga faksi ini bisa menerima gagasan IPT yang secara fundamental telah ditolak ketiganya sejak awal? Saya berpandangan terdapat celah yang bisa mempersatukan Korban 65 dengan-setidaknya dua dari tiga faksi tersebut (rekonsiliasi-moderat dan konservatif), yakni dengan cara terus menggali apa yang disebut ‘keduanya adalah korban’.

Begini, saya kerap mendengar dari banyak pihak di internal organisasi saya bahwa para pelaku (sipil) pembantaian juga merasa menjadi korban keadaan. Mungkin perasaan ini dianggap mengada-ada dan terkesan apologetis. Namun jika mau ditelisik lebih jauh, kita tentu bisa memahami kondisi ini, setidaknya melalui jargon ‘ membunuh atau dibunuh’. Jargon ini merupakan mantra sakti yang sangat terkenal untuk mengeskalasi pembantaian, setidaknya dalam kurun Oktober-Januari 1966 di Jawa Timur.

Temuan saya, mantra tersebut digunakan militer memaksa organisasi-organisasi kontra PKI melalui dua jalur. Pertama, memprovokasi organisasi-organisasi tersebut agar “membunuh (PKI), atau (jika tidak membunuh, mereka yang akan) dibunuh (oleh PKI)’.[9] Kedua, mengintimidasi mereka dengan mengintrodusir pemahaman bahwa “(mereka harus) membunuh (PKI) atau (mereka akan) dibunuh (karena dianggap PKI).[10]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun