Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Membenci Banci

20 Juni 2015   22:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah diantara kalian yang pernah merasa gilo (jijik level akut) ketika bertemu banci (waria)? Atau, setidaknya punya desir ketakutan saat berdekatan dengan mereka? Banci itu kata populer untuk menyebut pria yang merasa dirinya perempuan. Dandanan hingga tingkah lakunya kewanita-wanitaan (manly woman). Sebutan banci – bagi saya- beraura pejoratif (merendahkan).  Masyarakat juga biasa menyebut mereka waria, cross-dresser, atau transgender dalam kategori male to female (MtF). 

Saat kecil, perjumpaan saya dengan waria selalu mengambil salah satu dari dua bentuk; mengoloknya ramai-ramai bersama teman sebaya sambil melemparinya dengan kerikil. Atau, saya lari tunggang-langgang jika bertemu. Takut diapa-apakan. Dua respon tersebut rasanya mirip ketika saya bertemu aneka macam gendruwo. Jika tidak membombardirnya dengan ayat kursi, maka jurus seribu langkah adalah opsi paling rasional. Kata “banci” itu juga menyakitkan. Ia semacam menyan mujarab jika ingin membangkitkan amarah seseorang. Pergilah ke pasar dan pilih orang secara acak lalu panggil dia, 'woi banci!,’ jika dia paham, maka lihat reaksinya. 

Narasi Mapan

Oleh lingkungan kita saat ini, perasaan takut, jijik, dan kebencian yang cenderung ofensif dianggap hal yang ‘normal’ dan ‘wajar’.   Perasaan-perasaan tersebut merupakan resultante-logis dari narasi besar kemapanan gender dan seksualitas. Narasi itu membakukan secara ketat bagaimana jenis kelamin seseorang harus tercitrakan ke arena publik. Sifatnya yang hegemonik, menyebabkan narasi tersebut mampu menjajah tanpa membuat yang terjajah merasa dijajah. Ia bekerja siang malam mendogma pikiran kita bahwa semesta ini hanya diisi oleh dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. 

Lebih jauh, kuasa ini juga telah menetapkan kebenaran 'absolut' bagaimana dua jenis kelamin tersebut harus berperan dan mencitrakan diri mereka di tengah masyarakat (gender). Bahkan, ia seakan memiliki 'kewenangan penuh' menentukan dengan siapa jenis kelamin ini harus jatuh cinta dan merengkuh kenikmatan seksual. 

Ringkasnya, narasi ini mendefinisikan dua hal. Pertama, jika anda laki-laki, tampil maskulin merupakan satu-satunya opsi yang tersedia untuk diperankan. Endel, kenes, cengeng, suka boneka adalah atribut yang haram menempel pada maskulinitas. Partner pemuas nafsu seksual pun telah dipilihkan; perempuan. Laki-laki yg hidup di Brunei, jangan pernah coba-coba menyatakan diri ke publik kalau tertarik sesama jenis. Konsekuensinya pedih. Sama seperti di Aceh, seorang homoseksual – gay maupun lesbian- terancam hukuman 100 cambuk jika ketahuan. Praktek penghakiman paling parah yang saya ketahui terjadi di Mosul Irak beberapa waktu lalu. Saat gerombolan ISIS merebut kota ini, mereka mengeksekusi orang yang dituduh sebagai gay. Korban dilempar hidup-hidup dari atap gedung tertinggi, dengan posisi kepala di bawah dan tubuh terikat. 

Kedua, bagi perempuan, kuasa ini telah menyiapkan dunia khusus yang seluruh instrumennya dikontrol secara ketat dengan cara pandang laki-laki. Dunia tersebut menabukan perempuan bercitra maskulin. Sebaliknya, mereka diidealkan tampil keibuan, sabar, tidak suka memprotes, dan selalu tampil cantik agar mengesani laki-laki. Kuasa ini juga menuntut kepatuhan mutlak bahwa perempuan tercipta hanya dan hanya untuk dikonsumsi laki-laki. 

Bagi narasi ini, homoseksual adalah penyimpangan karena dianggap tidak taat rambu. Begitu pula dengan waria. Lelaki bergenre kemayu ini dipersepsi telah mengkhianati khittah laki-laki sebagaimana ekspektasi publik. Bagi yang melanggar rambu, sanksinya bervariasi, dari yang paling ringan -dalam bentuk cemooh dan cibiran, hingga aksi kekerasan. 

Di Jombang, setelah geger nasional Jagal Ryan, publik dikejutkan oleh terbunuhnya Affy beberapa bulan lalu. Siswa SMKN 1 Jombang ini tewas dengan belasan luka tusuk di tubuh. Lehernya tersayat. Pelakunya adalah Sid, pemuda tanggung, berstatus pengangguran yang dikenal memiliki hubungan spesial dengan korban. Di hadapan polisi, pelaku mengakui aksinya dipicu oleh kekecewaan dan rasa malu karena Affy ternyata seorang laki-laki. 

Entah disadari atau tidak, kuasa ini secara tidak langsung membuat garis demarkasi tegas menyangkut keabsahan identitas jender dan orientasi seksual seseorang. Yang benar adalah dua detil di atas. Diluar itu, dianggapnya salah, menyimpang, boleh dikucilkan, dan bahkan “halal” mendapat kekerasan. Sebuah koalisi nasional anti-kekerasan yang berbasis di New York, NCAVP, menyatakan kekerasan terhadap kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer) meningkat 11% pada 2014. Mereka juga mencatat ada 20 peristiwa pembunuhan atas kelompok ini. 

Korban Rebutan Klaim

Barangkali tidak semua tahu, linimasa sejarah menunjukkan keragaman orientasi seksual dan identitas gender nyata ada. Eksistensinya bahkan sangat mungkin setua peradaban ini.  Mitologi Yunani kuno yang hidup ribuan tahun sebelum masehi mengenal Venus Castina sebagai sosok berjiwa feminim yang terperangkap dalam tubuh maskulin. Tidak sedikit para cross-dresser, , memainkan peran penting sebagai medium ritual di agama pagan waktu itu. Tentu saja sebelum "diluruskan" total oleh kekristenan awal. 

Anda tahu, keberadaan waria juga muncul dalam kehidupan awal Madinah saat Nabi Muhammad di sana. Istilah arabnya mukhannatun. Salah satu yang terkenal bernama Hit. Dalam Effeminate in Early Medina, Everett K Rowson memberikan penjelasan cukup detil terkait hal ini. Mereka hidup membaur secara normal di masyarakat. Bahkan mereka digambarkan cukup akrab dengan para istri nabi layaknya sosialita. Saking dekatnya, para waria ini bahkan punya akses khusus hingga ruangan para istri Nabi.  Aishah malah dikabarkan pernah meminta bantuan Annah - mukhannatun- agar menjadi mak comblang perjodohan kakaknya, Abdurrahman.  Rowson juga menjelaskan keberadaan Tuways dan al-Dalal, dua mukhannnatun yang cukup kondang sebagai musisi dan penyanyi. Saat Khalifah Sulaiman ibn Abdul al-Malik dari Dinasti Umayyah (715-716) berkuasa, ia dikabarkan marah dan memerintahkan agar para penyanyi  waria dikebiri. 

Kebencian terhadap para waria tidak bisa dilepaskan dari pertikaian politik berbalut agama pada awal masehi. Agama lokal dianggap pagan dan distempel bidat/sesat seiring kebangkitan Kristen. Represi atas kesesatan ini juga berlaku bagi para pemuka pagan yang banyak bercitra kemayu. Gelombang pengerasan kebencian terhadap waria semakin memuncak sebagai dampak konflik teologi, antara kelompok Kristen trinitarian - dengan Athanasius sebagai pemimpinnya- berhadapan dengan faksi kristen unitarian - yang dipimpin Arianus. Dalam tulisannya History of Arians, St. Athanasius menggambarkan Arianus didukung penuh Eusebius, seorang eunuch Byzantium yang memiliki pengaruh politik sangat kuat pada era Constantine dan Constantius.  

Sebagai catatan, oleh Lucius dalam karyanya The Eunuchs, dia mendefinisikan eunuch sebagai” neither man nor woman, but something composite, hybrid, and monstrous, alien to human nature”. Sedangkan Aristoteles dalam Generation of Animal menggambarkannya dengan “fall but little short of the idea of the female”. 

Eusebius yang juga dikenal sebagai seorang manly woman ini bahkan dikabarkan pernah pergi ke Roma untuk menyuap dan mengancam Pope Liberius agar menerima komuni kelompok Arian. Sebagaimana diketahui, kala itu, eunuch memainkan peran signifikan sebagai representasi keberadaan agama pagan di kekaisaran. Rival utamanya tentu Katholik awal. Pandangan terhadap eunuch ini semakin miring karena pada kenyataannya sosok ini seringkali “berposisi” sebagai ‘perempuan’ dalam aktifitas seksual sesama jenis. Laki-laki yang mengambil ‘posisi’ ini dianggap tidak hanya nista dan immoral, namun juga diancam hukuman berat pada masa Constantinus II tahun 342 (Code Theodosius 9.7.3), sebelum akhirnya pada 14 Mei 390 St. Ambrose – bishop Milan- menyempurnakan cakupan hukuman dengan cara mempidana-bakar siapa saja yang juga berperan sebagai laki-laki’ dalam hubungan seksual tersebut. Lagi-lagi, konteks hukuman ini dalam rangka memerangi faksi Arianus yang dianggap bidat (Ensslin, 1953).

Di Indonesia, persekusi semacam itu juga terjad sekitar tahun 1953. Korbannya adalah para bissu, pemimpin spiritual di Sulawesi Selatan. Seperti halnya eunuch, mereka transgender. Menurut Umar dalam Dancing with Spirits: Negotiating Bissu Subjectivity Through Adat (2008), saat pecah pemberontakan DI/TII, bissu dipaksa menjadi 'laki-laki sejati' oleh Kahar Muzakar cs. Tidak boleh lembeng dan haram-kemayu, jika masih ingin hidup . Ketika terjadi Peristiwa 1965, tidak sedikit dari mereka yang dipaksa masuk Islam agar tidak dituduh komunis.

Dari Luth hingga Militerisme

Faktor lain yang juga memicu ketidaksukaan terhadap kelompok banci adalah kebijakan ekspansi militer yang membutuhkan sosok perkasa laki-laki untuk berperang. Banci dianggap bukan laki-laki karena klemar-klemer. Ia merupakan simbol agung kepengecutan bagi laki-laki. Dari sinilah barangkali julukan banci –untuk mengejek seseorang yang penakut- berasal.

Ketidakramahan akibat ketiga faktor ini selanjutnya "dibenamkan" secara sistematis melalui instrument penting penerjemahan kitab-kitab suci yang ada. Kristen dan Islam yang kerap gegeran, menjadi tampak akur dalam menghadapi banci. Sikap kedua terlihat sejalan. Dalam 1 Korintus 6:9-10, malakoi merupakan salah satu pihak yang tidak akan mendapat kerajaan Allah. Oleh Al-Kitab terjemahan LAI, malakoi diartikan banci. Dibanyak hadits, tidak sedikit dijumpai konten pengecaman terhadap waria, misalnya dalam Musnad, kitab Libas karya Ibn Hanbal, Shahih kitab Libas dan Hudud karya al-Bukhari, maupun Sunan, kitab Adab karya Abu Dawud.

Posisi banci yang 'tidak diuntungkan', baik oleh rangkaian historis maupun justifikasi teologis ini semakin remuk redam manakala dikaitkan dengan masalah homoseksual. Seperti kita ketahui, membincang keragaman orientasi seksual harus diakui merupakan problem pelik, apalagi jika sudah dikaitkan dengan agama. 

Heteroseksual dianggap merupakan satu-satunya orientasi seksual yang direstui agama. Bukan homoseksual apalagi biseksual. Seksualitas yang sah adalah bersifat reproduktif dan prokreasi, bukan sekedar rekreasi. Penabuan homoseksualitas kerap dinisbatkan dengan kisah Umat Nabi Lut secara salah kaprah. Betapa tidak, kisah tentang kegemaran sekelompok orang memperkosa sesama jenis (melalui aktivitas liwath) dengan tujuan penundukkan musuh ini -sekali lagi, secara salah kaprah- dijadikan monumen pengobaran kebencian terhadap kelompok homoseksual. 

Fokus utama kekejian kaum Luth adalah pemerkosaan. Artinya, pemerkosaan tetaplah salah, tidak peduli dilakukan terhadap laki-laki atau perempuan. Jika misalnya ada larangan laki-laki memperkosa perempuan melalui vagina, tidak berarti seluruh 'perjumpaan' penis-vagina menjadi salah. Yang terlarang adalah pemaksaannya, bukan pertemuan antara penis dengan vagina/anal. Sebab 'perjumpaan' keduanya bisa jadi suci jika dibebat unsur kasih sayang dan bersifat mutual consent.

----

Penjelasan di atas setidaknya  telah memberikan pandangan sumber historis asal muasal kebencian terhadap banci. Bisa ditarik kesimpulan bahwa konstruksi sosial dan pertikaian politik saat itu banyak mengkontribusi munculnya prasangka tersebut.

Hingga saat ini, saya masih meyakini sesungguhnya Tuhan mampu mencipta apa saja yang dikehendakiNya, termasuk laki-laki yang tidak berhasrat kepada perempuan (min ghayr uli al-irba’) sebagaimana terindikasi dalam QS. 24:31. Cinta kasih sesama jenis dalam bentuk agape, storge, eros, maupun phillia sangat dimungkinkan tumbuh. 

Saya pernah membaca sebuah hadits yang dinarasikan Anas bin Malik dalam kitab Sunan karya Abu Dawud, “Kitab al-Adab”, bab 122, hadits 5127, yang dipublikasi oleh Thesaurus Islamicus Foundation tahun 2000 di Liechtenstein. Isinya menyiratkan percikan cinta sesama jenis. 

A man was with Prophet (peace be upon him) when another man passed by and the former said ' O, Messenger of God! I love this man.' The Messenger of god asked, 'Have you let him know that?' He said, ‘No.’ the Messenger of God then said, 'Tell him.' So he went up to the man and said, 'I love you for the sake of God' and the other replied, 'May God love you who loves me for the sake of God.'

Belum jelas apakah cinta –sebagaimana hadits di atas- berada dalam kerangka persaudaraan, platonik, hubungan darah, atau – bahkan bisa jadi – dalam bingkai cinta erotik. Wallohu a'alam.

 

*Awal Ramadhan 2015, Aan Anshori

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun