Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membebaskan Kutukan Jancuk

25 Mei 2015   10:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan tanya apakah saya kenal kata jancuk atau tidak. Tidak perlu diverifikasi bagaimana kemampuan saya menyembur kata bertuah ini. Jika Surabaya dianggap motherland Jancuk, Jombang bagian Timur, termasuk Mojoagung, berada satu rumpun dengan tradisi Suroboyan. Sedangkan Jombang sebelah Barat lebih dekat dengan tradisi Mataraman.

Ya, saya hidup dan dibesarkan dalam komunitas arek hingga sekarang. Oleh karenanya saya merasa diberikan ‘anugerah’ bisa mengucapkan mantra jancuk dengan presisi yang akurat, disertai balutan emosi, pitch control dan penerapan makhorijul huruf berdisiplin ketat.

Dalam beberapa hal, terkadang orang merasa tidak perlu tahu arti sesuatu, hanya untuk sekedar mendapat kenyamanan (atau ketidaknyamanan) dengan hal tersebut. Kawan saya mengaku mendapat kedamaian – bahkan hingga mbrebes mili- saat mendengar lantunan ayat suci. Padahal, teks tersebut tengah menceritakan kepedihan neraka dan kecamuknya peperangan.

Saya tidak yakin semua orang memahami akar dan latar belakang mantra jancuk, sebagaimana yang saya pahami. Namun demikian, ketika jancuk digaungkan dalam kemarahan atau keterdesakan memuncak, serasa ada desiran kepuasan menelisik halus dalam sanubari dan emosi pengucapnya.

Jancuk ini sejenis kata khusus, ia tidak sama dengan kata lainnya, meski jancuk tetaplah sebuah kata. Kekhususan jancuk membuatnya tidak bisa sembarangan diucapkan, apalagi diwiridkan setiap hari. Ia seperti kata yang telah mendapat kutukan.

Hingga saat ini saya masih tidak berani mengumbar jancuk seenteng berseru 'asyik', 'hore' atau 'oke'. Tiga kata ini relatif punya daya jelajah lebih luas ketimbang jancuk. Ketiganya terasa pula tidak membebani siapapun yang ingin mengucapkannya. Tapi kata jancuk? Di komunitas saya, ia dilindungi oleh sebuah tameng psikologis agar seseorang berfikir mendalam jika ingin mengucapkannya. Cobalah sesekali memasukkannya dalam percakapan yang melibatkan guru, dosen, kiai atau orang tua kita. Kita bisa lihat bagaimana reaksi mereka. Kelamnya gelap jancuk barangkali menjadi sebab banyak orang tua sering kali mendelik jika anaknya mengumbar kata ini. Sembari berkata 'huss.. cangkeme!' (huss jaga mulutnya).

KUASA GELAP

Perenungan singkat atas kata ini membawa saya pada kesimpulan sementara; bahwa kekhususan jancuk terletak pada kuasa gelap yang telah disematkan ribuan tahun didalamnya. Kita tentu bisa berdebat, namun hemat saya jancuk adalah varian lain dari kata dancuk. Maknanya sama. Keduanya merupakan gabungan dari dua kata 'tak' dan 'encuk'. Mungkin karena alasan kemudahan, 'tak encuk' dilafalkan menjadi dancuk atau jancuk. Pemudahan pengucapan merupakan hal jamak terjadi, misalnya kata manarah, bangunan tinggi tempat menyembah tuhan (api) milik bangsa Majusi, diadopsi menjadi menara. Yusuf dipendekkan menjadi Usup atau Usep.

Saya menolak pandangan jancuk dan dancuk merupakan kata lain dari ngencuk. Tidak. Ngencuk dan tak encuk itu punya makna berbeda meski senafas. Ini sama dengan distingsi antara mangan (makan)dan tak pangan (aku makan). Arti "aku makan" ini tidak dalam makna normatif namun intimidatif, seperti halnya ancaman -yang oleh media massa dinisbatkan ke - Tommy Soeharto saat merespon ulah Yorrys dalam konflik Partai Golkar; 'Anda sopan saya segan. Anda arogan saya makan'.

Tak encuk artinya aku gagahi. Gabungan dua kata ini memiliki sifat arbitrer (sewenang-wenang) dan koersif (memaksa). Menggagahi adalah tindakan keji yang dilakukan untuk menunjukkan dominasinya. Tidak ada kekuatan paling intimidatif nan anarkhis yang bisa melampaui pemerkosaan. Cerita tertua percobaan tindak perkosaan dalam sejarah manusia terpahat abadi dalam kisah Sodom dan Gomora. Al-Kitab dan al-Quran mengkonfirmasi hal tersebut. Yang sayangnya, oleh kebanyakan umat dua kitab suci tersebut, kisah masyhur itu malah disalahpahami dan dikonstruksi menjadi basis teologis untuk merepresi praktek homoseksual.

Mengamini Diken dan Laustsen (2005) dalam Becoming Abject: Rape as a Weapon of War, 'tak encuk' merupakan senjata perang, yang meskipun bersifat asimetris namun ampuh meneror musuh. Tujuan utamanya memberikan trauma pada perempuan, serta dalam rangka menghancurkan ikatan keluarga dan solidaritas kelompok. Praktek tersebut adalah satu dari tiga hal lazim dilakukan para serdadu terhadap wilayah yang ditundukkan. Dua lainnya, perbudakan serta perampasan harta benda.

Jika mau jujur, sejarah bangsa ini tidaklah sepenuhnya steril dari praktek keji tersebut. Dalam buku kontroversinya, baik Harahap (Kobam, 2007) maupun Parlindungan (LKiS, 2007)), menyebut Pasukan Paderi telah meninggalkan trauma sangat buruk ketika menyerang Mandailing, Sipirok, Bakkara, Angkola, Padang Lawas dan sekitarnya pada 1816-1833. Perkosaan, perbudakan dan penjarahan menjadi bagian tak terpisahkan dari peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tingki Ni Pidari.

Tak encuk juga menjadi realitas tak terpisahkan dari huru-hara pengganyangan ratusan ribu orang yang dituduh PKI pada tahun 1965-1966. Laporan Komnas HAM mengkonfirmasi hal tersebut. Yang paling baru, tak encuk berjamaah juga menandai transisi demokrasi Indonesia pada akhir 90an. Tidak sedikit perempuan etnis Tionghoa Jakarta menjadi korban[1]. Jemma Purdey dalam tesisnya, Anti-Chinese Violence in Indonesia 1996-1997 bahkan menyatakan dirinya mewawancarai korban yang diencuk model gangbang di hadapan keluarganya.

SEBAGAI PERLAWANAN

Selain dalam kerangka pendominasian dan penundukan, 'tak encuk' juga muncul sebagai respon-marah seseorang ketika dirinya merasa terdesak atau terancam oleh kondisi khusus.Mengucap 'jancuk' dalam konteks ini bisa dipersepsi sebagai jihad melawan apa yang membuatnya tidak nyaman.Jika ada seseorang mengumpat sendiri;'Jancuk, ban sepedaku bocor!" Itu artinya ia mengalami situasi yang membuatnya kalah. Sebagai respon balik, dia mengeluarkan mantra 'tak encuk' karena terobsesi menundukkan hal tersebut.

Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini, kata jancuk dikampanyekan sedemikian rupa. Diksi ini digelorakan dengan intensi kuat agar menjadi salah satu identitas komunitas tertentu. Upaya ini patut direnungkan karena dua hal. Pertama, jika tidak bisa dianggap pekerjaan ngoyo-woro, ijtihad menyucikan kata jancuk ibarat mengemas hal jahat menjadi sesuatu yang mulia.

Saya tidak menemukan preseden lain sebagai bandingan atas upaya tersebut kecuali petilasan historik warisan Rezim Orde Baru yang kesuksesannya terasa hingga hari ini. Soeharto dkk pernah melakukan hal yang sama; ‘menyucikan’ Peristiwa G30S dan mengglorifikasinya secara heroik. Kup di internal militer Angkatan Darat yang berujung pembantaian jutaan tertuduh PKI telah sedemikian rupa dipoles menjadi ajaran ‘mulia’ menista kelompok tertentu dan melanggengkan impunitas.

Dalam bukunya Mematahkan Pewarisan Ingatan; Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Budiawan memaparkan bagaimana Rezim Orde baru secara disiplin menjalankan sistem rekayasa sejarah canggih untuk mengaburkan kejadian yang sebenarnya. Jika penyucian 'jancuk' bekerja dengan memanfaatkan jejaring media sosial, maka 'kebenaran' G30S –oleh Orde Baru- telah susah payah ditegakkan dengan dukungan moncong senjata,civitas intelektual dan akademik dengan gelontoran rupiah yang tidak sedikit.

Kedua, Jancuk itu sepadan dengan kata-kata 'bermasalah' lainnya, seperti halnya f*ck you atau moth*r f*ck*r.Memang benar, hibriditas kebudayaan merupakan keniscayaan, termasuk penyerapan kata sebagai sebuah simbol. Namun demikian, sepertinya belum ada satu bangsa pun di dunia ini yang begitu bangga melabeli dirinya sebagai Bangsa-Moth*r fuc*er atau Komunitas-Fu*ck you. Jika ada, bangsa tersebut pasti dipenuhi keangkaramurkaan sehingga rakyatnya merasa perlu meneriakkan jancuk sebagai syahadat perlawanan. Apakah itu bangsa kita? Wallohu a’lam bi muradihi.

Aan Anshori

GUSDURian - Peneliti di INFICTUS (Interfaith and Culture Studies) Jombang

Twitter @aananshori

[1] Dalam bukunya, Hefner menjelaskan bagaimana kontruksi sentimen anti-Cina digaungkan sebagai konskuensi atas kegagalan Soeharto meyakinkan para taipan untuk ikut membantunya dalam menanggulangi krisis moneter 1998. Lebih jauh, Soeharto meyakini ada konspirasi Jewish-Jesuit-America-Chinese dibalik kejatuhannya. Lihat Civil Islam Modern and Democratization in Indonesia, hlm. 201-7.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun